BAB I
PENDAHULUAN
- A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan sumber utama ajaran dalam Islam. di dalamnya memuat ajaran nilai-nilai universal kemanusiaan. al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi seluruh umat hingga akhir zaman. Untuk mendapatkan petunjuk tersebut manusia harus membaca dan mengkaji (menafsirkan) kemudian mengamalkan apa yang ada dalamnya. Sejalan dengan perkembangan zaman dengan segala macam problematika umat dan ilmu pengetahuan, maka semakin berkembang pula penafsiran terhadap al-Qur’an sebagai usaha untuk menjawab persoalan yang dihadapi.
Dalam usaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an manusia tentu tidak terlepas dari latar-belakang backgroundnya sendiri. Sehingga tidak heran masing-masing setiap mufasir memiliki karakteristik dan kecendrungan yang berbeda satu dengan lainnya dalam penafsiran. Hal tersebut adalah wajar sebab adanya perbedaan kondisi sosio-politik serta perkambangan ilmu pengetahuan pada saat itu.
Salah satunya adalah penafsir yang terkenal di era modern-kontemporer ini yakni Dr. Aisyah Abdul ar-Rahman atau yang lebih dikenal dengan nama penanya Bintu syati’. Ia adalah seorang wanita berhasil mendobrak dunia penafsiran yang selama ini didominasi kaum adam. Oleh karenanya ini merupakan suatu revolusi besar dalam dunia penafsiran. Dimana seorang perempuan berkecimpung dalam dunia tafsir. Hal ini tentu berkaitan Dengan pengaruh revolusi tafsir yang didengungkan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dimesir kala itu. Bahwa Al-quran perlu ditafsirkan kembali sesuai dengan konteks zaman.
Untuk itu Dalam makalah ini kami ingin berusaha menjelaskan tafsir Bintu asy Syathi’ dalam aspek epistemologis yang ada didalamnya serta menganalisis penafsirannya. Serta melakukan analisis terhadap tafsir yang dikarangnya.
- B. Rumusan Masalah
Agar pembahasan dalam makalah ini terarah maka pemakalah merumuskan masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini:
1. Bagaimana Biografi dan latar belakang kehdiupan Bintu Syathi’?
2. Bagaimana paradigma tafsir yang dikembangkan Bintu Syathi’?
3. Bagaimana prinsip dan metode yang digunakan Bintu Syathi’ dalam menafsirkan Al-Qur’an?
4. Sumber-sumber apa saja yang digunakan Bintu Syathi’ dalam menafsirkan Al-Qur’an?
5. Bagaiamana teknik dan aplikasi penafsiran Bintu Syathi’
BAB II
PEMBAHASAN
- A. Biografi Bintu asy-Syaţi’
- Biografi Bint al- Syati’
Nama lengkapnya adalah Aisyah Abdul ar-Rahman yang sering dikenal dengan nama Bint al-Syati’. Nama tersebut adalah nama pena yang Ia gunakan ketika menulis yang berarti putri pesisir. Dilahirkan pada 6 November 1913 di Dimyat, sebuah kota pesisir sungai Nil daerah utama Mesir. Ia dilahirkan ditengah keluarga yang religius dan konservatif.[1] Ayahnya bernama M. Ali Abdurrahman ia lulusan Al-Azhar dan ibunya bernama Farida Abdurssalam Muntasyir. Bint al-Syati’ dibesarkan dalam lingkungan yang agamis, mapan dan berpendidikan.
Namun keadaan ini tidak lantas membuat perjalanan akademiknya lancar. Ayahnya yang berwatak tradisionalis tidak mendukungnya dalam menempuh pendidikan jalur formal, Aisyah lebih diarahkan kependidikan non formal. Pada usia 5 tahun ia dibawa ayahnya kedesa asalnay untuk belajarpada sebuah Madrasah Qur’an diasuh oleh Syekh al-Mursi, ini bertujuan untuk mendalami ilmu agama terutama materi hafalan al-Qur’an, sehingga tidak heran pada usia yang masih belia ia sudah hafal al-Qur’an.
Pada tahun 1920 saat usianya menginjak 7 tahun, ia kembali ke Dimyat dan disana ia tidak menemukan bahwa anak seumuran dia telah belajar formal di madrasah al-Lauzi al-Amiriyyah li al-Banat. Dengan sedikit ragu ia meminta kepada ayahnya agar mendaftarkan di sekolahan formal tersebut. namun, ayahnya tidak mengizinkan karena menurut pandangan ayahnya sekolah formal identik dengan sekolah sekuler yang akan merusak putri-putri Syekh. Pada akhirnya, dengan bantuan dari kakek serta ibunda yang bersikap lebih moderat, Aisyah diizinkan untuk belajar disekolah tersebut, tetapi dengan catatan ia harus berhenti sekolah saat ia berusia 9 tahun (usia baligh) dan harus tetap mengikuti pelajaran agama di rumah dengan serius dan sungguh-sungguh.
Setelah lulus dan menyelesaikan sekolah pada tinggkat pertama dengan peringkat pertama, hasil ini mendorong ia untuk terus melanjutkan sekolahnya pada jenjang selanjutnya, padahal ia sudah tidak bolehlagi meneruskan pendidikannya diluar. Untuk kedua kalinya ia meminta bantuan kepada kakeknya agar membujuk ayahnya. Dengan amat terpaksa kemudian ayahnya mengizinkan ia melanjutkan sekolahnya. Ia menempuh sekolah lanjutan pertamanya di alnadrasah al-wasatiyyah selama 3 tahun. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di Mansurah, Thanta sekolah keguruan yang bernama al-Madrasah al-ta’Limiyah, karena ia mempunyai kecerdasan yang baik ia lulus dengan predikat terbaik disekolahan tersebut.
Setelah kelulusannya, ia mulai mengajar di al-Mansurah sembari mengikuti sekolah pra perguruan tinggi (public school), lulus pada tahun 1932. Dua tahun berikutnya ia meraih gelar BA (bachelor of art) pada tahun 1934 dibidang Bahasa Arab. Pengembaraannya berlanjut ke Kairo dan memasuki Universita King Fuad I, lulus pada tahun 1939 dengan gelar Lc (lience)pada jurusan Sastra dan Bahasa Arab. Di kampus inilah kecintaanya pada studi al-Qur’an yakni, pada saat ia mengikuti kuliah tafsir al-Qur’an di Kairo yang disampaikan oleh Profesor Amin al-Khuli pada 6 November 1936. Yang kemudian menjadi suaminya pada tahun 1945 dan dikaruniai tiga orang anak.
Dua tahun kemudian Ia berhasil mendapat gelar magister dengan tesis yang berjudul al-Hayah al-Insaniyyah ‘Inda Abi ‘Ala dan pada tahun 1950 meraih gelar doktor pada bidang yang sama dengan disertasi yang berjudul “al-Gufran li Abi al-‘Ala al Ma’ari dibawah bimbingan Dr. Taha Husein.
Pada tahun 1932, ia sempat menjadi supervaisor pendidikan disebuah lembaga untuk Inggris dan Perancis. Tahun 1939, ia menjadi asisten Rektor di Universitas Kairo, sempat juga mengepalai Departement Bahasa Arab dan Islamic studies untuk Universitas ‘Ain Syams. Pernah pula menjadi Inspektur Bahasa Arab pada sebuah lembaga bahasa tahun 1942 dan kritikus sastra pada koran al-Ahram. Pada tahun 1950, beliau naik jabatan menjadi kepala Rektor di Universitas ‘Ain Syams. Dan akhirnya menduduki profesor penuh untuk Sastra dan Bahsa Arab pada Universitas yang sama, pada tahun 1967. Ia juga sempat menjadi dosen tamu dan pembicara seminar seperipada Universitas Khortum Sudan, Qarawiyyin Maroko, Universitas Lahore Pakistan, Universitas Beirut Lebanon, dan dibeberapa Universitas di Baghdad, Kuwait, Aljazair, UEA, Arab Saudi dll. [2]
Aisyah bint al-Syati’ wafat pada awal bulan Desember tahun 1998, pada usia 85 tahun karena serangan jantung . Tulisan terakhir yang sempat diterbitkan oleh koran Ahram berjudul “Ali bin Abi Thalib Karramllahu Wajhah” tanggal 26 Februari 1998. Seluruh karyanya menjadi saksi akan kehebatan beliau. Metode tafsir yang beliau kembangkan dalam bukunya “at Tafsir al Bayani Lil Qur’an al Karim” banyak menjadi rujukan metode penafsiran kontemporer.
- Karya-Karya Aisyah Bint al-Syati’
Disamping kesibukannya mengemban jabatan-jabatan yang telah dipaparkan diatas, Bint al-Syati’ tetap aktif menulis. Karir kepenulisannya dimulai dengan artikel-artikel dan majalah-majalah perempuan di Mesir diakhir tahun 1932. Karya-karyanya mencakup bidang Sastra, Fiqih dan Sejarah. Diantara karya-karya yang dipublikasikan terdapat 60 karyadiantaranya sebagai berikut :
- Abu al-‘Ala al-Ma’ari, al-Khansa’ dan penyair-penyair lain seperti: al-Hayah al-Insaniyyah ‘Inda Abi al-A‘la yang merupakan tesis yang ditulisnya untuk mendapat gelar Master di Universitas Fuad I Kairo pada tahun 1941
- al-Gufrān li Abū al-A‘la al-Ma’āri yang merupakan disertasi yang ditulisnya untuk mendapat gelar Doktor di Universitas Fuad I Kairo pada tahun 1950
- Ard al-Mu’jizat
- Rihlah fi Jazirah al-‘Arab (1956)
- Umm al-Nabiy (1961)
- Sukainah bint al-Husain (1965)
- Batalat al-Karbala’ (1965)
- Ma‘a al-Mustafa(1969)
- Al-Tafsīr al-Bayāni lil Qur’ān al-Karīm jilid I (1962)
- Manhaj al-Tafasir al-Bayani (1963)
- Banat al-Nabiy (1963)
- Muskilatu al-Taradufu al-Lughowi (1964)
- Kitab al-‘Arabiyah al-Akbar (1965)
- Tafsir Surat al-‘Asr (1965)
- Al-Qur’an Wa Hurriya al-Iradah (1965)
- Kitābunā al-Akbar (1967)
- Al-Mafhūm al-Islāmiy li Tahrīr Al-Mar’ah (1967)
- Qodhiyah al-I’jaz (1968)
- Turasunā Baina Mādin wa Hādirin (1968)
- Jadid Min al-Dirasah al-Qur’aniyah (1968)
- A‘dā’ al-Basyar (1968)
- Al–Ab‘ad al-Tārīkhiyyah wa al-Fikriyyah li Ma’rakatina (1968)
- I’jāz al-Bayāni al-Qur’ān (1968)
- Lugatuna wa al-Hayāh (1969)
- Manhaj al-Dirasah al-Qur’aniyah (1969)
- Al-Tafsīr al-Bayāni lil Qur’an al-Karīm Jilid II(1969)
- Maqāl fi al-Insān: Dirāsah Qur’āniyyah (1969)
- Al-Qur’ān wa al-Tafsīr al-‘Asri (1970)
- Al-Qur’an Wa Huququ al-Insan (1971)
- Min Asrari al-Arabiyah Fi al-Bayani al-Qur’aniyah (1972)
- Al-Israiliyyat Wa al-Tafasir (1972)
- Al-Syakhsiyyah al-Islāmiyyah: Dirāsah Qur’āniyyah (1973)
- Baina al-‘Aqidah wa al-Ikhtiyar (1973).
- Nisa’ al-Nabiy (1973)
- Al-Qur’an Wa al-Fikr al-Islami al-Ma’ashir (1975)
- ‘Alā al-Jisr: Ustūrah al-Zaman
- Tarajum Sayyidat Bait al-Nubuwah Radiyallah ‘Anhunna (1987).[3]
- Latar belakang Pemikiran
Kondisi Sosial Politik
Pada abad ke 19 Islam mengalami kemunduran terus menerus, terbelakang dan banyak Negara muslim yang berada ditangan kolonial dalam kondisi rakyat yang sengsara. Keadaan ini berbanding terbalik dengan situasi di Eropa yang sangat maju. Negara-negara besar Eropa gencar menyuarakan Westernialisasi dengan paham kolonialisme dan imperialisme, yakni dengan menjajah negara-negara yang dianggap terbelakang.
Pada awal abad ke 20, kerajaan besar Islam, Turki Usmani mengalami kemunduran dan akhirnya runtuh pada tahun 1919 akibat kekalahan pada perang pertama dari sekutu. Abad tersebut adalah masa-masa suram bagi dunia Islam. Dimana dunia Islam hanya sisa-sisa kejayaan, beberapa Negara hanya menjadi boneka dan Negara jajahan kaum-kaum Barat, atau dijadikan ladang Insdustri bagi mereka.
Kondisi ini lebih buruk dialami oleh kaum perempuan Mesir, bahkan di beberapa Negara lain seakan mengalami diskriminasi, suara perempuan sangatlah dibatasi. Pengalaman Bint al-Syati’ dimasa kecil adalah bukti konkrit dari pembatasan aktivitas kaum perempuan.
Bint al-Syati’ dengan gigihnya berhasil keluar dari pegekangan dan mampu berbuat banyak menyuarakan gerakan-gerakan feminisme di Mesir, namun tetap menjaga sisi kelembutan wanita.
Ada tiga dasar yang memotivasi Bint al-Syati’ yang mengarahkan minatnya pada studi tafsir diantaranya. Pertama, ketekunan semenjak kecil terhadap al-Qur’an memiliki arti penting dalam perjalanan kehidupannya, terutama karena ayahnya memang mengarahkan dirinya untuk memperdalam al-Qur’an. Kedua, kekaguman dirinya terhadap Dosen sekaligus suaminya yang menghantarkan dirinya mencintai studi tersebut. ia mengaggumi gagasan-gagasan baru yang ditawarkan oleh Amin al-khuli dalam studi tafsir, yang membuatnya merasa tepat memilih tafsir atau studi al-Qur’an sebagai dasar pijakannya. Ketiga, pemahamannya tentang status perempuan dalam masyarakat mengacu pada apa yang dipahaminya sebagai nilai Islam yang benar, yang didasarkan pada al-Qur’an dan hadis kemudian dipraktikan oleh perempuan Muslim di masa awal Islam. Karena baginya al-Qur’an lebih dapat menjawab permasalahannya dibandingkan ide-ide barat yang juga menjadi arus pemikiran pada masa itu. [4]
Perkembangan Keilmuan dan Studi Tafsir
Masih berkaitan dengan kondisi sosial politik kala itu, munculnya kegelisahan dikalangan ulama dan tokoh politik agama. Muhammad Abduh, misalnya dalam memandang keadaan tersebut, timbul dua persoalan yang menjadi fokus perjuanggannya, yakni membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagai halnya salaf al-Ummah. Yang kedua adalah memperbaiki gaya bahasa arab yang yang baik dalam berbagai percakapan diberbagai tempat dan kesempatan.
M.Abduh menawarkan corak metode tafsir yang baru yakni adabi ijtima’i. Dalam penafsiran M. Abduh ingin mengembalikan al-Qur’an sebagai kitab hidayah, karena ia memandang selama ini bahwa penafsiran cenderung ideologis dan hanya menonjolkan kepentingan mazhab, sehingga menimbulkan penafsiran yang terkesan dipaksakan. Berbeda dengan Abduh, Amin al-Khuli cenderung memandang al-Qur’an sebagai kitab al-Arabiyyah al-Akbar. dengan memposisikan al-Qur’an sebagai kitab sastra tersbesar, maka pemahaman terhadap al-Qur’an dapat menghasilkan kesimpulan yang proporsional, baik dibaca oleh umat Islam, Kristen, dll. Selain corak tafsir yang ditawarkan oleh M. Abduh dkk berkembang pesat pula pada masa itu corak tafsir ilmi. Corak ini telah ada semenjak masa Imam al-Ghazali (1059-1111 M)sebaga itokoh utama pendukung, kemudian mencapai kesempurnaan pada karya tafsir Tantawi Jauhari (1870-1940). Pada dasarnya, corak ini membuktikan bahwa al-Qur’an ,encakup segala hakikat ilmiah yang diungkapkan oleh pendapat-pendapat kontemporer, khususnya di bidang filsafat dan sosiologi.Sebagian ulama memandang tafsir ini cenderung bersifat apologotik dan tidak perlu dilakukan. Salah satu tokoh yang gencar menolak gagasan dari corak di masa modern adalah Amin al-Khuli. Senada dengan Amin al-Khuli Rasyid Rida juga tidak sependapat dengan corak tsb.
Kemunculan tafsir dengan corak ini tentu sangat erat kaitannya dengan kondisi sosial politik pada masa itu. Peradaban Islam dahulu memang pernah mengalami puncak kejayaan, capaian-capaian penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah banyak dilakukan oleh para ilmuan muslim kala itu, kini keadaannya berbalik. Sementara ilmuan-ilmuan barat menemukan teori-teori ilmiah, para mufassir (pendukung tafsir corak ini) berusaha melakukan kompromi antara al-Qur’an dan sains dan menjadi justifikasi teologis terhadap teori ilmiah tertentu.
Bint al-Syati’ sebagai penganut tafsir sastrawi juga mengambil posisi menolak gagasan penafsiran tersebut. dari aspek historis tentu saja penafsiran ini ahistoris, padahal Bint al-Syati’ sangat berpegang pada asbab an-Nuzul. Begitu juga dari segi kebahasaannya.
Keberpengaruhan Amin al-Khuli
Diakui oleh Bint al-Syati’ sendiri bahwa Amin al-Khuli telah banyak menginspirasinya, baik dalam kehidupan maupun keilmuan. Ia juga mengungkapkan bahwa metode dalam tafsirnya adalah apa yang ia sarikan dari metode penafsiran Amin al-Khuli. Adapun metode yang ditawarkan oleh Amin al-Khuli sbb :
- Studi Eksternal Teks (dirasat ma haul al-Qur’an)
- Studi Internal Teks (dirasat ma fi al-Qur’an)
Selaras dengan pendapat tersebut, Bint al-Syati’ dalam tafsirnya adalah pengambilan objektivitas yang disatukan dalam kajian tematik tertentu, yakni dengan mengumpulkan apa yang ada dalam al-Qur’an dan mengambil petunjuk melalui penggunaan umum dari kata-kata dan gaya bahasanya.
Bint al-Syati’ telah membawa metode sastra Amin al-Khuli kearah neo tradisionalisme. Hal ini dilakukan bisa jadi, karena jalur tradisionali ini dipilih agar terhindar dari nasib yang dialami oleh beberapa murid al-Khuli lainnya. Meskipun berhaluan pada metode klasik, seperti melakukan “menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an”, tidak bisa dipungkiri bahwa metode tersebut memang terdapat pada suatu metode tafsir modern, yang nyatanya metode tersebut belum diberlakukan secara efektif oleh oleh mufassir klasik. Dan tidak jarang dengan metode ini ia menemukan beberapa penafsiran baru yang menyegarkan. [5]
- B. Paradigma at-Tafsīr al-Bayān li al-Qur‘ān al-Karīm
- C. Prinsip Dan Metodelogi Penafsiran
Di era modern-kontemporer kajian tentang tafsir terus mengalami perkembangan. Hal ini membuktikan bahwa keilmuan Islam (khususnya dalam bidang tafsir) terus mengalami dinamisasi. Dalam ranah akademis, misalnya kajian mengenai epistemologi tafsir merupakan suatu kebutuhan dan keniscayaan dalam upaya membangun kerangka studi yang ideal. Salah satu bagian dari epistemologi adalah kajian tentang prinsip dan metodelogi penafsiran. Dimana dengan mengetahui keduanya orang dapat melihat sebuah karya Tafsir dengan lebih mudah.
Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya Bintusy Syathi Dalam menulis karya tafsirnya banyak dipengaharui oleh gurunya yang sekaligus belakangan menjadi suaminya, yakni Amin Al-Khulli. Yang menafsirkan Al-quran dengan memposisikanya sebagai teks kebahasaan dan sastra (al-Arabiyyah al-Akbar).[6] Hal demikian juga ditegaskan Syati’ dalam pengantar bukunya :
“ Yang utama didalam metode tafsir bernuansa sastra ini-sebagaimana saya terima dari guru saya- adalah penguasaan tema untuk mengkaji satu tema didalamnya, lalu menghimpun semua tema didalam Al-Qur’an, mengikuti kelaziman penerapan lafal-lafal dan ungkapam-ungkapan sesudah membatasi makna bahasa.”
Berlandaskan posisi Al-Qur’an sebagai kitab sastra Bintusy Syati’ menggunakan formulasi prinsip dan metode yang dibangun oleh suaminya, Amin Al-Khulli. Adapun metode dan prinsip tersebut adalah[7]:
Pertama, prinsip yang digunakan Bintusy Syati’ adalah bahwa sebagian ayat Al-Qur’an menafsirkan sebagian ayat yang lain. Prinsip ini sebetulnya merupakan salah satu metode yang dipegangi ulama klasik, yakni menafsirkan dengan metode bir riwayat. Dalam menerapkan prinsip ini Bintu Syati’ memulai dengan mengumpulkan semua ayat dan surah mengenai tpik yang ingin dikaji.[8]
Kedua, metode yang digunakan dalam menganalisis adalah metode munasabah, yaitu mengaitkan antara kata atau ayat dengan kata atau ayat yang ada didekatnya, dan bahkan bisa tidak ada didekatnya.
Ketiga, prinsip bahwa ‘ibrah atau ketentuan suatu bahasa masalah berdasar atas bunyi umumnya lafaz atau teks bukan karena adanya sebab khusus.
Keempat, keyakinan bahwa kata-kata didalam bahasa arab Al-Qur’an tidak ada sinonim. Satu kata hanya mempunyai satu makna. Sehingga apabila ada yang mencoba untuk menggantikan kata dari Al-Qur’an. maka al-qur’an bisa kehilangan efektifitasnya, ketepatan, keindahan dan esensinya.
Sementara Pada dataran aplikasi penafsiran jika kita cermati Bintu Syati’ menggunakan metode-metode yang ditawarkanya diatas biasanya saling berdealektika dan melengkapi. Terkadang Bintusy Syati’ menggunakan keempat-empatnya atau hanya sebagian. Hal ini dapat dilihat pada uraian bagian aplikasi metode penafsirannya pada bab selanjutnya.
- D. Sumber Penafsiran
- E. Teknik Penafsiran
Berikut adalah contoh penafsiran dari at-Tafsīr al-Bayān li al-Qur‘ān al-Karīm Bintu asy-Syaţi’, surat al-Zalzalah:
إِذَا زُلْزِلَتِ الأرْضُ زِلْزَالَهَا. وَأَخْرَجَتِ الأرْضُ أَثْقَالَهَا. وَقَالَ الإنْسَانُ مَا لَهَا. يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا. بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى لَهَا. يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتًا لِيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ. فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ. وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat). dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (menjadi begini)?”, pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya. Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”. (Q.S. 99:1-8)
Surat ini menggambarkan proses awal kejadian hari akhir, yang kemudian diikuti dengan pembangkitan kembali. Melalui ayat ini, dan ayat-ayat senada lainnya, Allah menjelaskan bahwa seluruh manusia akan dibangkitkan kembali. Sebab itu, hari tersebut dinamai dengan yaum al-ba’ś atau yaum al-qiyāmah.[9]
Dalam al-Zalzalah terdapat kecenderungan pengulangan ayat. Padahal pengulangan biasanya hanya dalam surah yang panjang. Jika pengulangan terdapat pada keadaan-keadaan singkat, maka itu bermaksud untuk perhatian dan menimbulkan pengaruh secara psikis. Menurut Bintu asy-Syaţi, pengulangan-pengulangan tersebut merupakan fenomena uslub (gaya bahasa) di dalam al-Qur’an untuk pemantapan, penetapan dan penegasan.[10]
Lafaz-lafaz yang dipilih untuk keadaan hari kiamat sangat berpengaruh dan kuat kesannya; baik karena kekerasannya seperti al-zalzalah (guncangannya, benturannya, getarannya, kedahsyatannya, kebesaran peristiwanya, cerai-berainya, dan berserakannya); maupun karena kehalusannya seperti sebutir zarrah, debu yang berterbangan, bulu yang berhamburan, fatamorgana, asap, dll.[11]
Al-Zalzalah menurut bahasa berarti “gerakan yang keras dan guncangan yang dahsyat”. Kata ini digunakan pada hal-hal yang dapat dindera. Seperti kata-kata zalzala al-ibila (jika dia menuntun unta dengan keras, maka guncanglah jalannya), tazalzalat al- ardhu (jika bumi berguncang dan bergetar). Kemudian ia digunakan dalam hal-hal yang keras dan menakutkan.[12]
Menurut Bintu asy-Syaţi, kata al-zilzal (keguncangan) digabungkan dengan kata al-ardh (bumi) sejalan dengan spontanitas yang tampak pada ayat sesudahnya, yaitu pengeluaran bumi akan beban-beban dan pembicaraan-pembicaraan tentangnya.[13] Selanjutnya, dengan diaktifkannya kalimat zulzilat al-ardhu (bumi diguncangkan) dan kuatnya efektivitas yang diperoleh secara langsung dari ikhraj (pengeluaran), tahaddus (skenario kejadian) dan al-zalzalah (guncangan) kepada bumi, maka tidak ada alasan bagi perkiraan perantaraan para malaikat untuk menyampaikan “wahyu” kepada bumi yang berguncang dengan guncangannya yang hebat; mengeluarkan kandungannya dan menceritakan berita-beritanya.[14]
Kata yaumaidzin (pada hari itu) diulang-ulang untuk menghubungkan urutan-urutan keadaan, serta mengembalikan perhatian pendengar kepada ayat-ayat sebelumnya, serta mengulangi peringatan-peringatan yang telah mantap di benaknya.[15]
Mayoritas mufasir berpendapat bahwa yashduru al-nas (manusia keluar dari kuburnya) di sini bermakna mereka keluar dari kuburan atau mereka berpaling dari keadaan hisab. Menurut Bintu asy-Syaţi, penafsiran yashduru (mengeluarkan) dengan “keluar” atau “berpaling” kehilangan inspirasi kata di dalam rasa bahasa Arab, yang menggunakan kata al-shadr (keluar) lawan dari al-wird (kembali). Kata yashduru di sini lebih ekspresif, dan orang Arab juga sudah biasa menggunakan kata tersebut dan berlakulah kebiasaan mereka, bahwa al-warid (orang yang kembali) harus mengetahui bagaimana dia yashdur (keluar). Jika tidak, dia pasti akan tersesat.[16]
Lafaz Asytat (bercerai-berai) adalah jamak dari syatt. Asytat dan syatt tersebut di dalam bahasa adalah cerai-berai dan perselisihan. Materi tersebut terdapat pada lima tempat dalam al-Qur’an, tiga di antaranya dengan bentuk syatta: (Q.S Thaha :20: 53). (Q.S. Al-Lail 92: 4), dan (Q.S. Al-Hasyr 59:14) dua kali dalam bentuk asytat (Q.S. al-Nur 24: 61 ).[17]
Adapun mitsqal adalah sesuatu yang ditimbang. Ia termuat di dalam al-Qur’an delapan kali; dua kali di antaranya digandengkan dengan habbah min khaldal (biji sawi). (Q.S. al-Anbiya’ 21: 47). Dan (Q.S. Luqman 31: 16). Konteks dan struktur dua ayat itu menegaskan bahwa yang dimaksud dengan mitsqal di sini bukanlah ringannya timbangan, tetapi kecilnya ukuran.[18] Sedangkan enam kali lainnya mitsqal_disambung dengan dzarrah (Q.S yunus 10: 61, Q.S. Al-Saba. 34: 3; 22. Q.S. al-Nisa’ 4: 40), dan dua ayat dalam al-zalzalah.
Jelaslah bahwa yang dimaksud dengan dzarrah di dalam kedua ayat tersebut adalah ringannya timbangan. Meskipun banyak mufassir yang berusaha menentukan bahwa kadar dzarrah adalah seperseratus berat biji gandum atau ia adalah atom yang rahasianya baru ditemukan oleh ilmu pengetahuan pada abad kedua puluh ini, namun Bintu asy-Syaţi membantahnya dengan berpendapat bahwa Bahasa Arab memberi makna “dzarr” pada segala sesuatu yang menerangkan kelemahan, kekecilan dan keringanan timbangan.[19]
Selanjutnya, Bintu asy-Syaţi melihat bahwa dengan keadaan dan susunan konteks dari guncangan, ledakan, pecahan dan benturan. Maka mereka mengeluarkan beban-beban dan pergi secara terpisah-pisah dan tercerai-berai menampakkan amal yang baik ataupun yang buruk meskipun sebesar biji sawi.
Demikianlah, semua amal baik kecil maupun besar akan diperlihatkan kepada pelakunya dengan adanya perhitungan dan pembalasan, dengan keadilan, kemuliaan, dan kemurahan-Nya. Allah swt memberi ampun kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan menyiksa siapa saja yang Dia kehendaki, dan sesungguhnya Allah swt mampu melakukan apa saja yang Dia kehendaki.[20]
BAB III
PENUTUP
- A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan pemaparan diatas pemakalah menyimpulkan bahwa:
- Tafsir bintu syati’ adalah tafsir yang ditulis Aisyah Abdul ar-Rahman. Ia dalah seorang penafsir wanita yang lahir di abad modern berasal dari mesir. Tafsirnya banyak dipengahrui oleh suaminya sendiri yakni Amin Al-Khulli.
- paradigma penafsiran yang diusungnya adalah
- Prinsip dan metodelogi penafsiraan yang digunkan Asiyah Bintu Syati’ banyak dipengharui oleh Amin Al-Khulli. Adapun prinsip tersebut paling tidak ada empat yakni: pertama, sebagian ayat Al-Qur’an menafsirkan sebagian ayat yang lain. Kedua, metode yang digunakan dalam menganalisis adalah metode munasabah. Ketiga, prinsip bahwa ‘ibrah atau ketentuan suatu bahasa masalah berdasar atas bunyi umumnya lafaz atau teks bukan karena adanya sebab khusus. Keempat, keyakinan bahwa kata-kata didalam bahasa arab Al-Qur’an tidak ada sinonim. Satu kata hanya mempunyai satu makna
- Adapun sumber penafsirannya terdiri atas
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Aisyah Abdurrahman, 1996. Tafsir Bintu Syathi’ (bandung: Mizan)
http://hambawang.blogspot.com/2009/05/tafsir-pendekatan-sastra-metode-amin-al.html
http://www.rahima.or.id/index.php?option=com
M. Quraisy Shihab (dkk.), 2000. Sejarah dan Ulum al-Qur‘an, ed. Azyumardi Azra (Jakarta: Pustaka Firdaus)
Taqiyudin, Muhammad. 2010. Qasam dalam al-Qur’an ( Studi Komparasi Pemikiran Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dan ‘Aisyah Abdurrahman bint al-Syati’ terhadap ayat-ayat Sumpah), Skripsi, fak. Ushulludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Yusron. Muhammad dkk. 2006. studi kitab tafsir kontemporer (Yogyakarta: teras)
Wahyuni Shifaturrahmah, ’Ā‘isyah bint asy-Syaţi’ dan at-Tafsīr al-Bayāni li al-Qur‘an al-Karīm (Telaah Metodologi, Asbab Nuzul, dan Eskatologi) dalam http://wahyunishifaturrahmah.wordpress.com.
[1] http://hambawang.blogspot.com/2009/05/tafsir-pendekatan-sastra-metode-amin-al.html diunduh tanggal 5 November 2013.
[2] Muh Taqiyudin, Qasam dalam al-Qur’an ( Studi Komparasi Pemikiran Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dan ‘Aisyah Abdurrahman bint al-Syati’ terhadap ayat-ayat Sumpah), Skripsi, fak. Ushulludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010, hlm. 68-74.
[3] http://www.rahima.or.id/index.php?option=com diunduh pada tanggal 5 November 2013.
[4] Muh Taqiyudin, Qasam dalam al-Qur’an ( Studi Komparasi Pemikiran Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dan ‘Aisyah Abdurrahman bint al-Syati’ terhadap ayat-ayat Sumpah), Skripsi, fak. Ushulludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010, hlm. 75-78.
[5] Muh Taqiyudin, Qasam dalam al-Qur’an ( Studi Komparasi Pemikiran Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dan ‘Aisyah Abdurrahman bint al-Syati’ terhadap ayat-ayat Sumpah), Skripsi, fak. Ushulludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010, hlm. 79-86.
[6] Dr. Aisyah Abdurrahman, Tafsir Bintu Syathi’ (bandung: Mizan, 1996) hlm 30
[7] M. Yusron, dkk studi kitab tafsir kontemporer (Yogyakarta: teras, 2006) hlm. 25
[8] Dr. Aisyah Abdurrahman, Tafsir Bintu Syathi’ (bandung: Mizan, 1996) hlm 12
[9] M. Quraisy Shihab (dkk.), Sejarah dan Ulum al-Qur‘an, ed. Azyumardi Azra (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 160.
[10] ’Ā‘isyah ’Abdurrahmān Bintu asy-Syaţi’, at-Tafsīr al-Bayān li al-Qur‘ān al-Karīm, Juz 1, terj. Mudzakir Abdussalam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 133.
[11] Bintu asy-Syaţi’, at-Tafsīr al-Bayān…, Juz 1, hlm. 134.
[12] Bintu asy-Syaţi’, at-Tafsīr al-Bayān…, Juz 1, hlm. 138.
[13] Bintu asy-Syaţi’, at-Tafsīr al-Bayān…, Juz 1, hlm. 141.
[14] Bintu asy-Syaţi’, at-Tafsīr al-Bayān…, Juz 1, hlm. 154.
[15][15] Bintu asy-Syaţi’, at-Tafsīr al-Bayān…, Juz 1, hlm. 156.
[16] Bintu asy-Syaţi’, at-Tafsīr al-Bayān…, Juz 1, hlm. 156.
[17] Bintu asy-Syaţi’, at-Tafsīr al-Bayān…, Juz 1, hlm. 158.
[18] Bintu asy-Syaţi’, at-Tafsīr al-Bayān…, Juz 1, hlm. 161.
[19] Bintu asy-Syaţi’, at-Tafsīr al-Bayān…, Juz 1, hlm. 163.
[20] Wahyuni Shifaturrahmah, ’Ā‘isyah bint asy-Syaţi’ dan at-Tafsīr al-Bayāni li al-Qur‘an al-Karīm (Telaah Metodologi, Asbab Nuzul, dan Eskatologi) dalam http://wahyunishifaturrahmah.wordpress.com.