BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. A.  Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan sumber utama ajaran dalam Islam. di dalamnya memuat ajaran nilai-nilai universal kemanusiaan. al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi seluruh umat hingga akhir zaman. Untuk mendapatkan petunjuk  tersebut manusia harus membaca dan mengkaji (menafsirkan) kemudian mengamalkan apa yang ada dalamnya. Sejalan dengan perkembangan zaman dengan segala macam problematika umat dan ilmu pengetahuan, maka semakin berkembang pula penafsiran terhadap al-Qur’an sebagai usaha untuk menjawab persoalan yang dihadapi.

Dalam usaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an manusia tentu tidak terlepas dari latar-belakang backgroundnya sendiri. Sehingga tidak heran masing-masing setiap mufasir memiliki karakteristik dan kecendrungan yang berbeda satu dengan lainnya dalam penafsiran. Hal tersebut adalah wajar sebab adanya perbedaan kondisi sosio-politik serta perkambangan ilmu pengetahuan pada saat itu.

Salah satunya adalah penafsir yang terkenal di era modern-kontemporer ini yakni Dr. Aisyah Abdul ar-Rahman atau yang lebih dikenal dengan nama penanya  Bintu syati’. Ia adalah seorang wanita berhasil mendobrak dunia penafsiran yang selama ini didominasi kaum adam. Oleh karenanya ini merupakan suatu revolusi besar dalam dunia penafsiran. Dimana seorang perempuan berkecimpung dalam dunia tafsir. Hal ini tentu berkaitan Dengan pengaruh revolusi tafsir yang didengungkan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dimesir kala itu. Bahwa Al-quran perlu ditafsirkan kembali sesuai dengan konteks zaman.

Untuk itu Dalam makalah ini kami ingin berusaha menjelaskan  tafsir Bintu asy Syathi’ dalam aspek epistemologis yang ada didalamnya serta menganalisis penafsirannya. Serta melakukan analisis terhadap tafsir yang dikarangnya.

 

  1. B.  Rumusan Masalah

Agar pembahasan dalam makalah ini terarah maka pemakalah merumuskan masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini:

1. Bagaimana Biografi dan latar belakang kehdiupan Bintu Syathi’?

2.  Bagaimana paradigma tafsir yang dikembangkan Bintu Syathi’?

3. Bagaimana prinsip dan metode yang digunakan Bintu Syathi’ dalam menafsirkan Al-Qur’an?

4. Sumber-sumber apa saja yang digunakan Bintu Syathi’ dalam menafsirkan Al-Qur’an?

5. Bagaiamana teknik dan aplikasi penafsiran Bintu Syathi’

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. A.  Biografi Bintu asy-Syaţi’
  2. Biografi Bint al- Syati’

Nama lengkapnya adalah Aisyah Abdul ar-Rahman yang sering dikenal dengan nama Bint al-Syati’. Nama tersebut adalah nama pena yang Ia gunakan ketika menulis yang berarti putri pesisir.  Dilahirkan  pada 6 November 1913 di Dimyat, sebuah kota pesisir sungai Nil daerah utama Mesir. Ia dilahirkan ditengah keluarga yang religius dan konservatif.[1] Ayahnya bernama M. Ali Abdurrahman ia lulusan Al-Azhar dan ibunya bernama Farida Abdurssalam Muntasyir. Bint al-Syati’ dibesarkan dalam lingkungan yang agamis, mapan dan berpendidikan.

Namun keadaan ini tidak lantas membuat perjalanan akademiknya lancar. Ayahnya yang berwatak tradisionalis tidak mendukungnya dalam menempuh pendidikan jalur formal, Aisyah lebih diarahkan kependidikan non formal. Pada usia 5 tahun ia dibawa ayahnya kedesa asalnay untuk belajarpada sebuah Madrasah Qur’an diasuh oleh Syekh al-Mursi, ini bertujuan untuk mendalami ilmu agama terutama materi hafalan al-Qur’an, sehingga tidak heran pada usia yang masih belia ia sudah hafal al-Qur’an.

Pada tahun 1920 saat usianya menginjak 7 tahun, ia kembali ke Dimyat dan disana ia tidak menemukan bahwa anak seumuran dia telah belajar formal di madrasah al-Lauzi al-Amiriyyah li al-Banat. Dengan sedikit ragu ia meminta kepada ayahnya agar mendaftarkan di sekolahan formal tersebut. namun, ayahnya tidak mengizinkan karena menurut pandangan ayahnya sekolah formal identik dengan sekolah sekuler yang akan merusak putri-putri Syekh. Pada akhirnya, dengan bantuan dari kakek serta ibunda yang bersikap lebih moderat, Aisyah diizinkan untuk belajar disekolah tersebut, tetapi dengan catatan ia harus berhenti sekolah saat ia berusia 9 tahun (usia baligh) dan harus tetap mengikuti pelajaran agama di rumah dengan serius dan sungguh-sungguh.

Setelah lulus dan menyelesaikan sekolah pada tinggkat pertama dengan peringkat pertama, hasil ini mendorong ia untuk terus melanjutkan sekolahnya pada jenjang selanjutnya, padahal ia sudah tidak bolehlagi meneruskan pendidikannya diluar. Untuk kedua kalinya ia meminta bantuan kepada kakeknya agar membujuk ayahnya. Dengan amat terpaksa kemudian ayahnya mengizinkan ia melanjutkan sekolahnya. Ia menempuh sekolah lanjutan pertamanya di alnadrasah al-wasatiyyah selama 3 tahun. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di Mansurah, Thanta sekolah keguruan yang bernama al-Madrasah al-ta’Limiyah, karena ia mempunyai kecerdasan yang baik  ia lulus dengan predikat terbaik disekolahan tersebut.

Setelah kelulusannya, ia mulai mengajar di al-Mansurah sembari mengikuti sekolah pra perguruan tinggi (public school), lulus pada tahun 1932. Dua tahun berikutnya ia meraih gelar BA (bachelor of art) pada tahun 1934 dibidang Bahasa Arab.  Pengembaraannya berlanjut ke Kairo dan memasuki Universita King Fuad I, lulus pada tahun 1939 dengan gelar Lc (lience)pada jurusan Sastra dan Bahasa Arab. Di kampus inilah kecintaanya pada studi al-Qur’an yakni, pada saat ia mengikuti kuliah tafsir al-Qur’an di Kairo yang disampaikan oleh Profesor Amin al-Khuli pada 6 November 1936. Yang kemudian menjadi suaminya pada tahun 1945 dan dikaruniai tiga orang anak.

Dua tahun kemudian Ia berhasil mendapat gelar magister dengan tesis yang berjudul al-Hayah al-Insaniyyah ‘Inda Abi ‘Ala dan pada tahun 1950 meraih gelar doktor pada bidang yang sama dengan disertasi yang berjudul “al-Gufran li Abi al-‘Ala al Ma’ari dibawah bimbingan Dr. Taha Husein.

Pada tahun 1932, ia sempat menjadi supervaisor pendidikan disebuah lembaga untuk Inggris dan Perancis. Tahun 1939, ia menjadi asisten Rektor di Universitas Kairo, sempat juga mengepalai Departement Bahasa Arab dan Islamic studies untuk Universitas ‘Ain Syams. Pernah pula menjadi Inspektur Bahasa Arab pada sebuah lembaga bahasa tahun 1942 dan kritikus sastra pada koran al-Ahram. Pada tahun 1950, beliau naik jabatan menjadi kepala Rektor di Universitas ‘Ain Syams. Dan akhirnya menduduki profesor penuh untuk Sastra dan Bahsa Arab pada Universitas yang sama, pada tahun 1967. Ia juga sempat menjadi dosen tamu dan pembicara seminar seperipada Universitas Khortum Sudan, Qarawiyyin Maroko, Universitas Lahore Pakistan, Universitas Beirut Lebanon, dan dibeberapa Universitas di Baghdad, Kuwait, Aljazair, UEA, Arab Saudi dll. [2]

Aisyah bint al-Syati’ wafat pada awal bulan Desember tahun 1998, pada usia 85 tahun karena serangan jantung . Tulisan terakhir yang sempat diterbitkan oleh koran Ahram berjudul “Ali bin Abi Thalib Karramllahu Wajhah” tanggal 26 Februari 1998. Seluruh karyanya menjadi saksi akan kehebatan beliau. Metode tafsir yang beliau kembangkan dalam bukunya “at Tafsir al Bayani Lil Qur’an al Karim” banyak menjadi rujukan metode penafsiran kontemporer.

 

  1. Karya-Karya Aisyah Bint al-Syati’

Disamping kesibukannya mengemban jabatan-jabatan yang telah dipaparkan diatas, Bint al-Syati’ tetap aktif menulis. Karir kepenulisannya dimulai dengan artikel-artikel dan majalah-majalah perempuan di Mesir diakhir tahun 1932.  Karya-karyanya mencakup bidang Sastra, Fiqih dan Sejarah. Diantara karya-karya yang dipublikasikan terdapat 60 karyadiantaranya sebagai berikut :

  1. Abu al-‘Ala al-Ma’ari, al-Khansa’ dan penyair-penyair lain seperti: al-Hayah al-Insaniyyah ‘Inda Abi al-A‘la yang merupakan tesis yang ditulisnya untuk mendapat gelar Master di Universitas Fuad I Kairo pada tahun 1941
  2. al-Gufrān li Abū al-A‘la al-Ma’āri yang merupakan disertasi yang ditulisnya untuk mendapat gelar Doktor di Universitas Fuad I Kairo pada tahun 1950
  3.  Ard al-Mu’jizat
  4. Rihlah fi Jazirah al-‘Arab (1956)
  5. Umm al-Nabiy (1961)
  6. Sukainah bint al-Husain (1965)
  7. Batalat al-Karbala’ (1965)
  8. Ma‘a al-Mustafa(1969)
  9. Al-Tafsīr al-Bayāni lil Qur’ān al-Karīm jilid I (1962)
  10. Manhaj al-Tafasir al-Bayani (1963)
  11. Banat al-Nabiy (1963)
  12. Muskilatu al-Taradufu al-Lughowi (1964)
  13. Kitab al-‘Arabiyah al-Akbar (1965)
  14. Tafsir Surat al-‘Asr (1965)
  15. Al-Qur’an Wa Hurriya al-Iradah (1965)
  16. Kitābunā al-Akbar (1967)
  17. Al-Mafhūm al-Islāmiy li Tahrīr Al-Mar’ah (1967)
  18. Qodhiyah al-I’jaz (1968)
  19. Turasunā Baina Mādin wa Hādirin (1968)
  20. Jadid Min al-Dirasah al-Qur’aniyah (1968)
  21. A‘dā’ al-Basyar (1968)
  22. AlAb‘ad al-Tārīkhiyyah wa al-Fikriyyah li Ma’rakatina (1968)
  23. I’jāz al-Bayāni al-Qur’ān (1968)
  24. Lugatuna wa al-Hayāh (1969)
  25. Manhaj al-Dirasah al-Qur’aniyah (1969)
  26. Al-Tafsīr al-Bayāni lil Qur’an al-Karīm Jilid II(1969)
  27. Maqāl fi al-Insān: Dirāsah Qur’āniyyah (1969)
  28. Al-Qur’ān wa al-Tafsīr al-‘Asri (1970)
  29. Al-Qur’an Wa Huququ al-Insan (1971)
  30. Min Asrari al-Arabiyah Fi al-Bayani al-Qur’aniyah (1972)
  31. Al-Israiliyyat Wa al-Tafasir (1972)
  32. Al-Syakhsiyyah al-Islāmiyyah: Dirāsah Qur’āniyyah (1973)
  33. Baina al-‘Aqidah wa al-Ikhtiyar (1973).
  34. Nisa’ al-Nabiy (1973)
  35. Al-Qur’an Wa al-Fikr al-Islami al-Ma’ashir (1975)
  36. ‘Alā al-Jisr: Ustūrah al-Zaman
  37. Tarajum Sayyidat Bait al-Nubuwah Radiyallah ‘Anhunna (1987).[3]
  1. Latar belakang Pemikiran

 

Kondisi Sosial Politik

Pada abad ke 19 Islam mengalami kemunduran terus menerus, terbelakang dan banyak Negara muslim yang berada ditangan kolonial dalam kondisi rakyat yang sengsara. Keadaan ini berbanding terbalik dengan situasi di Eropa yang sangat maju. Negara-negara besar Eropa gencar menyuarakan          Westernialisasi dengan paham kolonialisme dan imperialisme, yakni dengan menjajah negara-negara yang dianggap terbelakang.

Pada awal abad ke 20, kerajaan besar Islam, Turki Usmani mengalami kemunduran dan akhirnya runtuh pada tahun 1919 akibat kekalahan pada perang pertama dari sekutu. Abad tersebut adalah masa-masa suram bagi dunia Islam. Dimana dunia Islam hanya sisa-sisa kejayaan, beberapa Negara hanya menjadi boneka dan Negara jajahan kaum-kaum Barat, atau dijadikan ladang Insdustri bagi mereka.

Kondisi ini lebih buruk dialami oleh kaum perempuan Mesir, bahkan di beberapa Negara lain seakan mengalami diskriminasi, suara perempuan sangatlah dibatasi. Pengalaman Bint al-Syati’ dimasa kecil adalah bukti konkrit dari pembatasan aktivitas kaum perempuan.

Bint al-Syati’ dengan gigihnya berhasil keluar dari pegekangan dan mampu berbuat banyak menyuarakan gerakan-gerakan feminisme di Mesir, namun tetap menjaga sisi kelembutan wanita.

Ada tiga dasar yang memotivasi Bint al-Syati’ yang mengarahkan minatnya pada studi tafsir diantaranya. Pertama, ketekunan semenjak kecil terhadap al-Qur’an memiliki arti penting dalam perjalanan kehidupannya, terutama karena ayahnya memang mengarahkan dirinya untuk memperdalam al-Qur’an. Kedua, kekaguman dirinya terhadap Dosen sekaligus suaminya yang menghantarkan dirinya mencintai studi tersebut. ia mengaggumi gagasan-gagasan baru yang ditawarkan oleh Amin al-khuli dalam studi tafsir, yang membuatnya merasa tepat memilih tafsir atau studi al-Qur’an sebagai dasar pijakannya. Ketiga, pemahamannya tentang status perempuan dalam masyarakat mengacu pada apa yang dipahaminya sebagai nilai Islam yang benar, yang didasarkan pada al-Qur’an dan hadis kemudian dipraktikan oleh perempuan Muslim di masa awal Islam. Karena baginya al-Qur’an lebih dapat menjawab permasalahannya dibandingkan ide-ide barat yang juga menjadi arus pemikiran pada masa itu. [4]

Perkembangan Keilmuan dan Studi Tafsir

Masih berkaitan dengan kondisi sosial politik kala itu, munculnya kegelisahan dikalangan ulama dan tokoh politik agama. Muhammad Abduh, misalnya dalam memandang keadaan tersebut, timbul dua persoalan yang menjadi fokus perjuanggannya, yakni membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagai halnya salaf al-Ummah. Yang kedua adalah memperbaiki gaya bahasa arab yang yang baik dalam berbagai percakapan diberbagai tempat dan kesempatan.

M.Abduh menawarkan corak metode tafsir yang baru yakni adabi ijtima’i. Dalam penafsiran M. Abduh ingin mengembalikan al-Qur’an sebagai kitab hidayah, karena ia memandang selama ini bahwa penafsiran cenderung ideologis dan hanya menonjolkan kepentingan mazhab, sehingga menimbulkan penafsiran yang terkesan dipaksakan. Berbeda dengan Abduh, Amin al-Khuli cenderung memandang al-Qur’an sebagai kitab al-Arabiyyah al-Akbar. dengan memposisikan al-Qur’an sebagai kitab sastra tersbesar, maka pemahaman terhadap al-Qur’an dapat menghasilkan kesimpulan yang proporsional, baik dibaca oleh umat Islam, Kristen, dll. Selain corak tafsir yang ditawarkan oleh M. Abduh dkk berkembang pesat pula pada masa itu corak tafsir ilmi. Corak ini telah ada semenjak masa Imam al-Ghazali (1059-1111 M)sebaga itokoh utama pendukung, kemudian mencapai kesempurnaan pada karya tafsir Tantawi Jauhari (1870-1940). Pada dasarnya, corak ini membuktikan bahwa al-Qur’an ,encakup segala hakikat ilmiah yang diungkapkan oleh pendapat-pendapat kontemporer, khususnya di bidang filsafat dan sosiologi.Sebagian ulama memandang tafsir ini cenderung bersifat apologotik dan tidak perlu dilakukan. Salah satu tokoh yang gencar menolak gagasan dari corak di masa modern adalah Amin al-Khuli. Senada dengan Amin al-Khuli Rasyid Rida juga tidak sependapat dengan corak tsb.

Kemunculan tafsir dengan corak ini tentu sangat erat kaitannya dengan kondisi sosial politik pada masa itu. Peradaban Islam dahulu memang pernah mengalami puncak kejayaan, capaian-capaian penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah banyak dilakukan oleh para ilmuan muslim kala itu, kini keadaannya berbalik. Sementara ilmuan-ilmuan barat menemukan teori-teori ilmiah, para mufassir (pendukung tafsir corak ini) berusaha melakukan kompromi antara al-Qur’an dan sains dan menjadi justifikasi teologis terhadap teori ilmiah tertentu.

Bint al-Syati’ sebagai penganut tafsir sastrawi juga mengambil posisi menolak gagasan penafsiran tersebut. dari aspek historis tentu saja penafsiran ini ahistoris, padahal Bint al-Syati’ sangat berpegang pada asbab an-Nuzul. Begitu juga dari segi kebahasaannya.

Keberpengaruhan Amin al-Khuli

Diakui oleh Bint al-Syati’ sendiri bahwa Amin al-Khuli telah banyak menginspirasinya, baik dalam kehidupan maupun keilmuan. Ia juga mengungkapkan bahwa metode dalam tafsirnya adalah apa yang ia sarikan dari metode penafsiran Amin al-Khuli. Adapun metode yang ditawarkan oleh Amin al-Khuli sbb :

  • Studi Eksternal Teks (dirasat ma haul al-Qur’an)
  • Studi Internal Teks (dirasat ma fi al-Qur’an)

Selaras dengan pendapat tersebut, Bint al-Syati’ dalam tafsirnya adalah pengambilan objektivitas yang disatukan dalam kajian tematik tertentu, yakni dengan mengumpulkan apa yang ada dalam al-Qur’an dan mengambil petunjuk melalui penggunaan umum dari kata-kata dan gaya bahasanya.

Bint al-Syati’ telah membawa metode sastra Amin al-Khuli kearah neo tradisionalisme. Hal ini dilakukan bisa jadi, karena jalur tradisionali ini dipilih agar terhindar dari nasib yang dialami oleh beberapa murid al-Khuli lainnya. Meskipun berhaluan pada metode klasik, seperti melakukan “menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an”, tidak bisa dipungkiri bahwa metode tersebut memang terdapat pada suatu metode tafsir modern, yang nyatanya metode tersebut belum diberlakukan secara efektif oleh oleh mufassir klasik. Dan tidak jarang dengan metode ini ia menemukan beberapa penafsiran baru yang menyegarkan. [5]

 

 

  1. B.  Paradigma at-Tafsīr al-Bayān li al-Qur‘ān al-Karīm

 

 

  1. C.  Prinsip Dan Metodelogi Penafsiran

Di era modern-kontemporer kajian tentang tafsir terus mengalami perkembangan. Hal ini membuktikan bahwa keilmuan Islam (khususnya dalam bidang tafsir) terus mengalami dinamisasi. Dalam ranah akademis, misalnya kajian mengenai epistemologi tafsir merupakan suatu kebutuhan dan keniscayaan dalam upaya membangun kerangka studi  yang ideal.  Salah satu bagian dari epistemologi adalah kajian tentang prinsip dan metodelogi penafsiran. Dimana dengan mengetahui keduanya orang dapat melihat sebuah karya Tafsir dengan lebih mudah.

Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya Bintusy Syathi Dalam menulis karya tafsirnya banyak dipengaharui oleh gurunya yang sekaligus belakangan menjadi suaminya, yakni Amin Al-Khulli. Yang menafsirkan Al-quran dengan memposisikanya sebagai teks kebahasaan dan sastra (al-Arabiyyah al-Akbar).[6] Hal demikian juga ditegaskan Syati’ dalam pengantar bukunya :

“ Yang utama didalam metode tafsir bernuansa sastra  ini-sebagaimana saya terima dari guru saya- adalah penguasaan tema untuk mengkaji satu tema didalamnya, lalu menghimpun semua tema didalam Al-Qur’an,  mengikuti kelaziman penerapan lafal-lafal dan ungkapam-ungkapan sesudah membatasi makna bahasa.”

Berlandaskan posisi Al-Qur’an sebagai kitab sastra Bintusy Syati’ menggunakan formulasi prinsip dan metode yang dibangun oleh suaminya, Amin Al-Khulli. Adapun metode dan prinsip tersebut adalah[7]:

Pertama, prinsip yang digunakan Bintusy Syati’ adalah bahwa sebagian ayat Al-Qur’an menafsirkan sebagian ayat yang lain. Prinsip ini sebetulnya merupakan salah satu metode yang dipegangi ulama klasik, yakni  menafsirkan dengan metode bir riwayat. Dalam menerapkan prinsip ini Bintu Syati’ memulai dengan mengumpulkan semua ayat dan surah mengenai tpik yang ingin dikaji.[8]

Kedua, metode yang digunakan dalam menganalisis adalah metode munasabah, yaitu mengaitkan antara kata atau ayat dengan kata atau ayat yang ada didekatnya, dan bahkan bisa tidak ada didekatnya.

Ketiga, prinsip bahwa ‘ibrah atau ketentuan suatu bahasa masalah berdasar atas bunyi umumnya lafaz atau teks bukan karena adanya sebab khusus.

Keempat, keyakinan bahwa kata-kata didalam bahasa arab Al-Qur’an tidak ada sinonim. Satu kata hanya mempunyai satu makna. Sehingga apabila ada yang mencoba untuk menggantikan kata dari Al-Qur’an. maka al-qur’an bisa kehilangan efektifitasnya, ketepatan, keindahan dan esensinya.

Sementara Pada dataran aplikasi penafsiran jika kita cermati Bintu Syati’ menggunakan metode-metode yang ditawarkanya diatas biasanya saling berdealektika dan melengkapi. Terkadang Bintusy Syati’ menggunakan keempat-empatnya atau hanya sebagian. Hal ini dapat dilihat pada uraian bagian aplikasi metode penafsirannya pada bab selanjutnya.

  1. D.  Sumber Penafsiran

 

 

  1. E.  Teknik Penafsiran

Berikut adalah contoh penafsiran dari at-Tafsīr al-Bayān li al-Qur‘ān al-Karīm Bintu asy-Syaţi’, surat al-Zalzalah:

إِذَا زُلْزِلَتِ الأرْضُ زِلْزَالَهَا. وَأَخْرَجَتِ الأرْضُ أَثْقَالَهَا. وَقَالَ الإنْسَانُ مَا لَهَا. يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا. بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى لَهَا. يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتًا لِيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ. فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ. وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat). dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (menjadi begini)?”, pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya. Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”. (Q.S. 99:1-8)

Surat ini menggambarkan proses awal kejadian hari akhir, yang kemudian diikuti dengan pembangkitan kembali. Melalui ayat ini, dan ayat-ayat senada lainnya, Allah menjelaskan bahwa seluruh manusia akan dibangkitkan kembali. Sebab itu, hari tersebut dinamai dengan yaum al-ba’ś atau yaum al-qiyāmah.[9]

Dalam al-Zalzalah terdapat kecenderungan pengulangan ayat. Padahal pengulangan biasanya hanya dalam surah yang panjang. Jika pengulangan terdapat pada keadaan-keadaan singkat, maka itu bermaksud untuk perhatian dan menimbulkan pengaruh secara psikis. Menurut Bintu asy-Syaţi, pengulangan-pengulangan tersebut merupakan fenomena uslub (gaya bahasa) di dalam al-Qur’an untuk pemantapan, penetapan dan penegasan.[10]

Lafaz-lafaz yang dipilih untuk keadaan  hari kiamat sangat berpengaruh dan kuat kesannya; baik karena kekerasannya seperti al-zalzalah (guncangannya, benturannya, getarannya, kedahsyatannya, kebesaran peristiwanya, cerai-berainya, dan berserakannya); maupun karena kehalusannya seperti sebutir zarrah, debu yang berterbangan, bulu yang berhamburan, fatamorgana, asap, dll.[11]

Al-Zalzalah menurut bahasa berarti “gerakan yang keras dan guncangan yang dahsyat”. Kata ini digunakan pada hal-hal yang dapat dindera. Seperti kata-kata zalzala al-ibila (jika dia menuntun unta dengan keras, maka guncanglah jalannya), tazalzalat al- ardhu (jika bumi berguncang dan bergetar). Kemudian ia digunakan dalam hal-hal yang keras dan menakutkan.[12]

Menurut Bintu asy-Syaţi, kata al-zilzal (keguncangan) digabungkan dengan kata al-ardh (bumi) sejalan dengan spontanitas yang tampak pada ayat sesudahnya, yaitu pengeluaran bumi akan beban-beban dan pembicaraan-pembicaraan tentangnya.[13] Selanjutnya, dengan diaktifkannya kalimat zulzilat al-ardhu (bumi diguncangkan) dan kuatnya efektivitas yang diperoleh secara langsung dari ikhraj (pengeluaran), tahaddus (skenario kejadian) dan al-zalzalah (guncangan) kepada bumi, maka tidak ada alasan bagi perkiraan perantaraan para malaikat untuk menyampaikan “wahyu” kepada bumi yang berguncang dengan guncangannya yang hebat; mengeluarkan kandungannya dan menceritakan berita-beritanya.[14]

Kata yaumaidzin (pada hari itu) diulang-ulang untuk menghubungkan urutan-urutan keadaan, serta mengembalikan perhatian pendengar kepada ayat-ayat sebelumnya, serta mengulangi peringatan-peringatan yang telah mantap di benaknya.[15]

Mayoritas mufasir berpendapat bahwa yashduru al-nas (manusia keluar dari kuburnya) di sini bermakna mereka keluar dari kuburan atau mereka berpaling dari keadaan hisab. Menurut Bintu asy-Syaţi, penafsiran yashduru (mengeluarkan) dengan “keluar” atau “berpaling” kehilangan inspirasi kata di dalam rasa bahasa Arab, yang menggunakan kata al-shadr (keluar) lawan dari al-wird (kembali). Kata yashduru di sini lebih ekspresif, dan orang Arab juga sudah biasa menggunakan kata tersebut dan berlakulah kebiasaan mereka, bahwa al-warid (orang yang kembali) harus mengetahui bagaimana dia yashdur (keluar). Jika tidak, dia pasti akan tersesat.[16]

Lafaz Asytat (bercerai-berai) adalah jamak dari syatt. Asytat dan syatt tersebut di dalam bahasa adalah cerai-berai dan perselisihan. Materi tersebut terdapat pada lima tempat dalam al-Qur’an, tiga di antaranya dengan bentuk syatta: (Q.S Thaha :20: 53). (Q.S. Al-Lail 92: 4), dan (Q.S. Al-Hasyr 59:14) dua kali dalam bentuk asytat (Q.S. al-Nur 24: 61 ).[17]

Adapun mitsqal adalah sesuatu yang ditimbang. Ia termuat di dalam al-Qur’an delapan kali; dua kali di antaranya digandengkan dengan habbah min khaldal (biji sawi). (Q.S. al-Anbiya’ 21: 47). Dan (Q.S. Luqman 31: 16). Konteks dan struktur dua ayat itu menegaskan bahwa yang dimaksud dengan mitsqal di sini bukanlah ringannya timbangan, tetapi kecilnya ukuran.[18] Sedangkan enam kali lainnya mitsqal_disambung dengan dzarrah (Q.S yunus 10: 61, Q.S. Al-Saba. 34: 3; 22. Q.S. al-Nisa’ 4: 40), dan dua ayat dalam al-zalzalah.

Jelaslah bahwa yang dimaksud dengan dzarrah di dalam kedua ayat tersebut adalah ringannya timbangan. Meskipun banyak mufassir yang berusaha menentukan bahwa kadar dzarrah adalah seperseratus berat biji gandum atau ia adalah atom yang rahasianya baru ditemukan oleh ilmu pengetahuan pada abad kedua puluh ini, namun Bintu asy-Syaţi membantahnya dengan berpendapat bahwa Bahasa Arab memberi makna “dzarr” pada segala sesuatu yang menerangkan kelemahan, kekecilan dan keringanan timbangan.[19]

Selanjutnya, Bintu asy-Syaţi melihat bahwa dengan keadaan dan susunan konteks dari guncangan, ledakan, pecahan dan benturan. Maka mereka mengeluarkan beban-beban dan pergi secara terpisah-pisah dan tercerai-berai menampakkan amal yang baik ataupun yang buruk meskipun sebesar biji sawi.

Demikianlah, semua amal baik kecil maupun besar akan diperlihatkan kepada pelakunya dengan adanya perhitungan dan pembalasan, dengan keadilan, kemuliaan, dan kemurahan-Nya. Allah swt memberi ampun kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan menyiksa siapa saja yang Dia kehendaki, dan sesungguhnya Allah swt mampu melakukan apa saja yang Dia kehendaki.[20]

 


 

BAB III

PENUTUP

 

  1. A.  Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan pemaparan diatas pemakalah menyimpulkan bahwa:

  1. Tafsir bintu syati’ adalah tafsir yang ditulis Aisyah Abdul ar-Rahman. Ia dalah seorang penafsir wanita yang lahir di abad modern berasal dari mesir. Tafsirnya banyak dipengahrui oleh suaminya sendiri yakni Amin Al-Khulli.
  2.  paradigma penafsiran yang diusungnya adalah
  3. Prinsip dan metodelogi penafsiraan yang digunkan Asiyah Bintu Syati’ banyak dipengharui oleh Amin Al-Khulli. Adapun prinsip tersebut paling tidak ada empat yakni: pertama, sebagian ayat Al-Qur’an menafsirkan sebagian ayat yang lain. Kedua, metode yang digunakan dalam menganalisis adalah metode munasabah. Ketiga, prinsip bahwa ‘ibrah atau ketentuan suatu bahasa masalah berdasar atas bunyi umumnya lafaz atau teks bukan karena adanya sebab khusus. Keempat, keyakinan bahwa kata-kata didalam bahasa arab Al-Qur’an tidak ada sinonim. Satu kata hanya mempunyai satu makna
  4. Adapun sumber penafsirannya terdiri atas

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Dr. Aisyah Abdurrahman, 1996. Tafsir Bintu Syathi’ (bandung: Mizan)

 

http://hambawang.blogspot.com/2009/05/tafsir-pendekatan-sastra-metode-amin-al.html

 

http://www.rahima.or.id/index.php?option=com

 

M. Quraisy Shihab (dkk.), 2000. Sejarah dan Ulum al-Quran, ed. Azyumardi Azra (Jakarta: Pustaka Firdaus)

 

Taqiyudin, Muhammad. 2010. Qasam dalam al-Qur’an ( Studi Komparasi Pemikiran Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dan ‘Aisyah Abdurrahman bint al-Syati’ terhadap ayat-ayat Sumpah), Skripsi, fak. Ushulludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

 

Yusron. Muhammad dkk. 2006. studi kitab tafsir kontemporer (Yogyakarta: teras)

 

Wahyuni Shifaturrahmah, ’Ā‘isyah bint asy-Syaţi’ dan at-Tafsīr al-Bayāni li al-Qur‘an al-Karīm (Telaah Metodologi, Asbab Nuzul, dan Eskatologi) dalam http://wahyunishifaturrahmah.wordpress.com.

 

 


[2] Muh Taqiyudin, Qasam dalam al-Qur’an ( Studi Komparasi Pemikiran Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dan ‘Aisyah Abdurrahman bint al-Syati’ terhadap ayat-ayat Sumpah), Skripsi, fak. Ushulludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010, hlm. 68-74.

[3] http://www.rahima.or.id/index.php?option=com diunduh pada tanggal 5 November 2013. 

[4] Muh Taqiyudin, Qasam dalam al-Qur’an ( Studi Komparasi Pemikiran Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dan ‘Aisyah Abdurrahman bint al-Syati’ terhadap ayat-ayat Sumpah), Skripsi, fak. Ushulludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010, hlm. 75-78.

[5] Muh Taqiyudin, Qasam dalam al-Qur’an ( Studi Komparasi Pemikiran Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dan ‘Aisyah Abdurrahman bint al-Syati’ terhadap ayat-ayat Sumpah), Skripsi, fak. Ushulludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010, hlm. 79-86.

[6]  Dr. Aisyah Abdurrahman, Tafsir Bintu Syathi’ (bandung: Mizan, 1996) hlm 30

[7] M. Yusron, dkk studi kitab tafsir kontemporer (Yogyakarta: teras, 2006) hlm. 25

[8] Dr. Aisyah Abdurrahman, Tafsir Bintu Syathi’ (bandung: Mizan, 1996) hlm 12

[9] M. Quraisy Shihab (dkk.), Sejarah dan Ulum al-Quran, ed. Azyumardi Azra (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 160.

 

[10] ’Ā‘isyah ’Abdurrahmān Bintu asy-Syaţi’, at-Tafsīr al-Bayān li al-Qur‘ān al-Karīm, Juz 1, terj. Mudzakir Abdussalam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 133.

 

[11] Bintu asy-Syaţi’, at-Tafsīr al-Bayān…, Juz 1, hlm. 134.

 

[12] Bintu asy-Syaţi’, at-Tafsīr al-Bayān…, Juz 1, hlm. 138.

 

[13] Bintu asy-Syaţi’, at-Tafsīr al-Bayān…, Juz 1, hlm. 141.

 

[14] Bintu asy-Syaţi’, at-Tafsīr al-Bayān…, Juz 1, hlm. 154.

 

[15][15] Bintu asy-Syaţi’, at-Tafsīr al-Bayān…, Juz 1, hlm. 156.

 

[16] Bintu asy-Syaţi’, at-Tafsīr al-Bayān…, Juz 1, hlm. 156.

 

[17] Bintu asy-Syaţi’, at-Tafsīr al-Bayān…, Juz 1, hlm. 158.

 

[18] Bintu asy-Syaţi’, at-Tafsīr al-Bayān…, Juz 1, hlm. 161.

 

[19] Bintu asy-Syaţi’, at-Tafsīr al-Bayān…, Juz 1, hlm. 163.

 

[20] Wahyuni Shifaturrahmah, ’Ā‘isyah bint asy-Syaţi’ dan at-Tafsīr al-Bayāni li al-Qur‘an al-Karīm (Telaah Metodologi, Asbab Nuzul, dan Eskatologi) dalam http://wahyunishifaturrahmah.wordpress.com.

 

BAB I

PENDAHULUAN

  1. A.    Latar Belakang

Penafsiran terhadap Al-Qur’an terus berkemabang mengikuti alur zaman. Al-Quran sejak pertama kalinya muncul berusaha dipahami dan di tafsirkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dari fakta inilah bisa dikatakan bahwa Al-Qur’an memiliki posisi yang penting, yaitu menjadi pedoman hidup manusia.

Pemahaman tentang pedoman hidup juga memunculkan berbagai pandangan. Tentunya sebuah pedoman akan berusaha digunakan apabila ia dipahami, dimengerti dan jelas, sehingga bisa digunakan. Dari hal inilah upaya interpretasi secara kompleks muncul.

Kendati waktu terus berubah setiap waktu, sebuah pedoman hidup harus tetap bisa exist. Al-Qur’an yang terlahir daalam sebuah teks tentu besifat statis, tetap dan tidak banyak mengalami perubahan substansi. Sedangkan disatu sisi kehidupan manusia terus berjalan tanpa henti dan masalah yang dihadapi juga makin berkembang hingga komleks. Sebuah teks yang statis tentu tidak akan bisa menjawab perkembangan jika ia tidak ditafsirkan.

Berangkat dari hal tersebutlah, penafsiran muncul. Namun dalam perkembangannya, tafsir tidak pernah lepas dari mufassirnya sendiri. akibat sisi subjektiitas ini, dtemukan banyaknya corak tafsir yang bisa dilihat setiap saat. Perbedaan juga tidak lepas dari kekuasaan yang ada saat itu, sehingga banyak corak berkembang dari fase ke fase, karena secara funsgsional tadi, yakni Al-Qur’an sebagai pedoman hidup.

Salah satu corak yang berkembang pesat dalam penafsiran adalah corak fiqih. Corak ini selalu berkembang setiap saat dikarenakan kebutuhan manusia kepada fiqih adaah setiap saat. Berbeda dengan corak lain yang tidak setiap waktu ada, sedangkan masalah fiqih selalu dijumpai kapanpun dan di manapun. Berangkat dari inilah sekiranya corak ini perlu dikaji agar bisa diambil suatu nilai yang bisa dikembangkan demi kebutuhan manusia.

  1. B.     Rumusan Masalah
    1. Apa yang dimaksud dengan tafsir corak fiqih?
    2. Bagaimana Pengaruhnya terhadap penafsiran?
    3. C.    Tujuan
      1. Mengetahui seluk beluk tafsir corak fiqih, dari sisi metode, objek kajian dan fungsinya
      2. Mengetahui pengaruh corak tersebut terhadap penafsiran Al-Qur’an
      3. D.    Kegunaan
        1. Sumbangan keilmuan di bidang tafsir
        2. Sebagai bahan diskusi

BAB II

PEMBAHASAN

  1. A.    Seputar Tafsir Corak Fiqih

Selain dari sisi metode penafsiran, baik itu tahlili, ijmati, muqarrin ataupun maudhu’i, penafsiran juga juga mempunyai corak-corak tertentu. Dalam hal ini baik itu corak ataupun metode, keduanya masuk ke dalam wilayah epistimologi penafsiran, dimana corak berfungsi sebagai pendekatan sedangkan ijmali, tahlili , muqarrin dan tematik masuk ke metode.

Sebagai suatu pendekatan, sebuah corak penafsiran tentu memiliki sebuah pengaruh terhadap objek materialnya. Dengan hal inilah sebenarnya tafsir mempunyai sebuah keragaman, sehingga ayat al-qur’an seolah memiliki banyak wajah.

Corak dalam literatur tafsir identik dengan kata laun, yang artinya warna. Jadi corak berarti nuansa atau warna khusus yang mewarnai tafsir[1]. Tafsir sendiri sangat bergantung dengan horizon mufassirnya, sehingga penaafsiran sangat relativ dan tentatif.

  1. 1.      Pengertian Corak tafsir Fiqih

Corak tafsir fiqih berarti corak tafsir yang diwarnai dengan ayat-ayat ahkam.[2] Corak ini secara substansial memuat masalah-masalah seputar fiqih seperti shalat, zakat, puasa sampai kepada isu-isu kontemporer. Corak tafsir fiqih biasanya mengambil nama dengan istilah tafsir ayat ahkam yang memuat hukum-hukum tentang fiqih, baik wajib, sunat, makruh, mubah dan haram. [3]

Dari segi fungsional, tafsir ayat fiqih digunakan oleh para mufassir guna memunuhi kebutuhan finansial manusia terhadap agama, yakni kewajiban beribadah. Beribadah disini baik digunakan terhadap ibadah mahdhah dan ibadah gair mahdhah.

Tafsir corak fiqih tidak lepas dari konteks yang pernah dihadapi oleh mufassirnya. Konteks yang datang inilah yang melatar belakangi munculnya tafsir dengan corak fiqih tersebut. Dalam hal ini tafsir fiqih tentu tidak lepas dari adanya ijtihad dari para ulama terhadap berbagai masalah yang dihadapi, sehingga tafsir corak fiqih secara metode, lebih mendekati metode ra’yu dalam memberikan sejumlah interpretasi.

  1. 2.      Latar Belakang Munculnya Penafsiran Corak Fiqih

Corak tafsir fiqih datang dengan dua faktor pendorongnya, baik secara interal maupun eksternalnya. Secara internal terjadi pada Al-Qur;an itu sendiri yang memuat ayat-ayat ahkam. Sedang dari sisi internalnya tafsir ini muncul akibat adanya konteks yang dihadapi dan secara keilmuan memiliki tuntutan untuk dipecahkan. Tafsir fiqih secara historis sudah berkemang sejak zaman Nabi Muhammad sendiri, permasalahan yang muncul dalam perkembangannya hanya seputar metodologis saja. Semakin ke depan, metodologi yang digunakan semakin kompleks.

  1. 3.      Karakterisitik Tafsir Corak Fiqih

Corak tafsir fiqih mempunyai beberapa ciri yang berbeda dengan tafsir lainnya. Karakeristik ini bisa dilihat dari sisi metodologis ataupun produk penafsiranya. Secara metodologis, tafsir corak fiqih menggunakan metode bira’yi (adanya ijtihad) dan diuraikan secara tahlili. Tahlili disini digunakan karena banyaknya analisa baik secara kebahasaan ataupun secara permasalahan yang dihadapi sangat kompleks. Adapun secara produk, tafsir fiqih secara substansial memuat ayat hukum dan secara fungsional diperlukan dalam masalah ibadah atau hukum dalam kehidupan manusia.

  1. B.     Periode Tafsir Fiqih

Para ulama tidak ada kata sepakat mengenai jumlah ayat-ayat ahkam dalam Al-Qur’an, hal itu tergantung kepada cara pandang mereka terhadap struktur dan kandungan ayat tersebut. Al-Ghazali, Al-Razi dan Ibnu Qudamah menyatakan bahwa ayat ahkam dalam Al-Qur’an berjumlah 500 ayat, sementara Abdul Wahab Khallaf hanya menyebutkan 150 ayat saja. Al-Mubarak mengatakan bahwa ayat ahkam berjumlah sebanyak 900 ayat, bahkan Abu Yusuf menyebutnya sebanyak 1000 ayat. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut diatas, yang pasti para ulama sepakat bahwa Al-Qur’an adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam yang dalam implementasinya dibutuhkan suatu penafsiran.

  1. 1.      Periode Rasulullah Hingga Lahirnya Madzhab

Pada masa Rasulullah Saw. umat Islam dapat memahami isi kandungan Al-Qur’an baik yang berkenaan dengan akidah maupun syariah secara tekstual, sesuai dengan bangsa Arab saat itu. Karena apabila mereka mendapati hal-hal yang kurang jelas, mereka langsung datang kepada Rasulullah untuk menanyakan penjelasannya, karena Rasulullah sebagai referensi dan penafsir pertama terhadap Al-Qur’an. Oleh karenanya, pada masa itu, penafsiran Al-Qur’an tidak mengalami kesulitan, sebab disamping Rasulullah masih ada, juga problrma yang dihadapi para sahabat belum terlalu kompleks.

Namun, setelah Rasulullah berpulang ke rahmatullah dan Islam mulai berkembang ke luar jazirah Arab, mulailah bermunculan banyak kasus dan peristiwa dikalangan umat Islam yang harus dengan segera menuntut pemecahan hukumnya secara benar dan akurat. Langkah pertama yang mereka tempuh adalah meneliti dan mencaari tahu di dalam Al-Qur’an. Jika mereka menemukan jawban di dalamnya, dengan segera mereka menerapkannya. Bila tidak, mereka mengalihkan penelitiannya kepada sunnah Rasulullah. Namun apabila mereka tidak menemukannya jawabannya, mereka mulai berijtihad dengan ra’yu-nya, baik dilakukan secara individual maupun secara kolektif, dengan tetap berpegang kepada prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Hasil nalar dan ijtihad mereka daria ayat-ayat Al-Qur’an, adakalanya bersamaan, tetapi tidak jarang mereka berbeda pendapatnya. Pernah terjadi perbedaan hasil ijtihad antara Umar r.a dengan Ali bin Abi Thalib r.a dalam penyelesaian kasus idah (masa tunggu) seorang wanita yang sedang hamil dan ditinggal matioleh suaminya. Umar bin Khatab memutuskan, bahwa idah perempuan semacam itu sampai dengan melahirkan kandungannya (wad’u al-hamli). Sedangkan Ali bin Abi Thalib memutuskan dengan memilih masa terpanjang dan terlama diantara dua idah tersebut, yaitu melahirkan atau idah wafat (empat bulan sepuluh hari).

Faktor penyebab perbedaan itu adalah kontradiksinya antara ayat yang berkenaan dengan idah wafat (Q.S Al-Baqarah;234) dengan ayat yang berkenaan dengan idah hamil (Q.S Thalaaq: 4), yang menjelaskan bahwa idah hamil sampai melahirkakn kandungnnys, sedangksn idah wafat adalah empat bulan sepuluh hari. Ali bin Abi Thalib tampaknya bermaksud untuk mengompromikan kedua ayat tersbut diatas sehingga ia berkesimpulan dengan idah ab’adu al-ajalain. Sedangkan Umar bin Khatab berpendapat bahwa ayat: 4 Al-Thalaq (idah hamil), merupakan pen-takhsish terhadap ayat 234 Al-Baqarah (idah wafat). Oleh karena itu, Umar berkesimpulan bahwa dalam kasus tersebut yang diberlakukan adalah idah hamil (Hudhari Beyk: 1930: 113)

Salah satu ciri yang patut dipuji pada periode ini dan berhak mendapat acungan jempol serta dapat dijadikan contoh, adalah sikap sportif dan jiwa besar mereka dalam menerima dan menghargai pendapat dan hasil ijtihad orang lain, apabila pada suatu saat hasil ijtihadnya itu dirasa kurang tepat dan ternyata ada hasil ijtihad orang lain yang lebih baik, maka dengan sportif dan lapang dada mereka menarik pendapatnya itu dan mengambil pendapat/ hasil ijtihad orang lain. Sifat semacam ini, pernah diamanatkan oleh Umar bin Khatab kepada Abu Musa Al-Asy’arisebagai gubernur Kufah, dalam suratnya yang berbunyi:

فان الحق قديم لا يبطله شئ و مرا جعة احق خير من التمادى فى الباطل

              “ Bahwa yang benar itu sifatnya abadi dan tidak akan tergoyahkan oleh apapun. Oleh sebab itu, kembali kepada yang benar lebih baik daripada harus terus bergelimang dalam kesalahan” (Ibnu Qayyim: 1973:86)

  1. 2.      Periode Imam-imam Madzhab

Periode ini ditandai dengan lahirnya imam-imam madzhab, terutama madzhab yang empat, yaitu sejak abad pertama hijriah sampai dengan abad-3 Hijriah. Pada masa ni, Islam telah berkembang dan tersebar sampai ke Asia bahkan Afrika. Oleh karena itu, sudah barang tentu banyak kasus dan permasalahan yang bermunculan dikalangan umat Islam menuntut ketetapan hukumnya. Dalam menyelesaikan kasus-kasus tersebut, para ulama senantiasa berpedoman kepada teks-teks yang terdapat didalam Al-Qur’an dan Sunnah. Namun, apabila mereka tidak menemukannya, mereka lalu berijtihad dengan menggunakan metodologi istimbath al-ahkam masing-masing.

Dalam upaya penalaran (ijtihad) tentang hukum dari suatu kasus, mereka kadang-kadang sepakat karena sepaham, tetapi tidak jarang mereka berselisih pendapat. Perselisihan itu sering disebabkan oleh perbedaan metode istinbath yang mereka gunakan. Namun, dari hal yang sangat menarik pada masa ini adalah bahwa meskipun mereka berbeda pendapat, mereka tidak pernah fanatic dan egoistic. Mereka senantiasa merindukan kebenaran dan terus mengadakan penelitian-penelitian. Mereka tidak pernah merasa kalah atau rendah, tetapi justru mereka menumbuhkan jiwa besar dan sikap sportif. Mereka tidak pernah menganggap remeh atau melecehkan pendapat yang lainnya, bahkan pada saat itu dikenal semboyan “madzhabku benar tapi mengandung kemungkinan salah, sedang madzhab selainku salah, tetapi mengandung kemungkinan benar.” Mereka tidak pernah mengharapkan apalagi menganjurkan umat untuk mengikuti pendapat dan hasil ijtihad mereka. Meereka justru mendorong umat untuk kembali dan mendalami Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

Bukti tasamuh dan keterbukaan mereka dan menerima pendapat orang lain, dapat dipahami dari pernyataan-pernyataan mereka sendiri, sebagai berikut:

  1. Abu Hanifah menyatakan:

اذا كان قولى يخالف كتاب الله وحديث الرسل فاتر كوا قولى

“Apabila pendapatku menyalahi Kitabullah dan hdits Rasulullah, maka tinggalkanlah pendapatku ini.”

  1. Imam Malik menyatakan:

انما انا بشر اخطىء واصيب فانضرا فى رايى فما وافق الكتاب والسنة فخذوه وما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوا

“ Saya ini hanyalah manusia biasa, yang bias salah dan bias benar. Oleh karena itu, telitilah semua pendapatku, apabila pendapatku tersebut sesuai dengan kitab sunnah, ambillah, apabila tidak, tinggalkanlah.”

  1. Imam Syafi’i menyatakan:

اذا صح الحديث فهو مذهبى

“Apabila hadits tersebut Shahih, maka itulah madzhabku.”

  1. Ahmad ibnu Hanbal menyatakan:

لا تقلدو نى ولا تقلدوا مالكا ولا تقلدوا الأوزاعى ولكن خذوا من حيث ما أخذوا

   “Janganlah kamu bertaklid kepadaku, juga kepada Imam Malik, begitu pula pada Auza’I, tetapi ambillah dari sumber (referensi) mereka.”

  1. 3.      Periode Taqlid dan Fanatisme Madzhab

Periode ini dikenal dengan periode pembelaan madzhab yang dianut. Pada masa ini, fanatisme madzhab sedemikian tinggi sehingga masing-masing penganut madzhab tidak mengenal toleransi atau tenggang rasa terhadap madzhab lain diluar yang dianutnya. Masing-masing memandang pendapat imam madzhabnya bagaikan nash syara’ yang paten dan wajib diikuti.

Penalaran yang dilakukan para muqollid terhadap nash-nash syara’ bertujuan hanya semata-mata untuk membela pendapat imam madzhabnya, bahkan lebih jauh mereka malah melemahkan madzhab-madzhab lain. Apabila mereka menemukan nash syara’yang kelihatannya paradok dengan pendapat imam madzhabnya, maka mereka berusaha secara maksimal untuk menakwilkan nash tersebut agar sejalan dengan pendapat imam mereka. Apabila nash tersebut sulit ditakwil, mereka beralih kepada teknik nasikh-mansukh atau teknik takhsish yang tujuannya tiada lain, kecuali agar nash tersebut sejalan dengan madzhab imam mereka, meskipun teknik tersebut terlihat agak menyimpang.

Pola diatas pernah ditemukan oleh Al-Khurki (w.340 H), salah seorang pengikut Abu Hanifah, yang mengatakan,

كل آية او حديث يخالف ما عليه أصحابنا فهو مؤول او منسوخ

“Bila kami mendapatkan ayat-ayat Al-Qur’an atau Hadits Rasulullah yang kelihatannya bertentangan dengan madzhab kami, maka nash tersebut kami takwilkan atau kami pandang sebagai mansukh. (Al-Subkhi dan Al-Sayis: 1936: 281)[4]

 

  1. C.    Tokoh-Tokoh Mufassir dan Karyanya dengan Corak Tafsir Fiqih

Corak tafsir fiqih berkembang seiring dengan berkembangnya madzhab-madzhab dalam fiqih. Tokoh-tokoh yang ada juga pada dasarnya tidak terlepas dari ikatan madzahab yang dianutnya, sehingga suatu penafsiran terjadang diberikan untuk membela madzhab baik sekedar kebutuhan individu, kolektif ataupu politik secara luas.

Beberapa tokoh tafsir fiqih yang beserta nama karyanya:

  1. Abu bakar Ahmad bin Ali Al-Razi al-Jashash dengan karyanya Ahkam Al-Qur’an (917-980M)
  2. Abi Bakar Muhammad Bin Abdilah (Ibnu Al-Arabi) dengan karyanya Ahkam Al-Qur’an Ibn Al-Arabi (1075-1148)
  3. Al-Kiya al-Harasi dengan karyanya Ahkam Al-Qur’an al-Kiya al-Harasi (1058M)
  4. Abi Abdillah Muhammad Al-Qurthubi dengan karyanya jami’ li ahkamil Qur’an wa al-muhayyi lima tdhommanuhu min as-sunnah wa ayyil qur’an.
  5. Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad Ibn Abdullah Al-syaukani dengan karyanya Fath al-Qadar (1759-1839 M)
  6. Musthafa Al-maraghi dengan karyanya Tafsir Al-maraghi (1945 M)Muhammad Ali al sayis (Dosen Al-Azhar) dengan karyanya Tafsir Ayat-Ayat Hukum [5]
  7. D.    Pengaruh Perbedaan Madzhab dalam Penafsiran

Setiap madzhab, tentu mempunyai epistimologi terendiri dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan corak fiqih. Dalam tradisi Arab dikenal tiga istilah epistimologi, yaitu bayani, burhani dan irfani. Yang kadang menjadi perdebatan adalah antara bayani dan burhani atau antara tekstualis dan rasionalis. Dalam fiqih, hal ini tentu tidaklah sama , kecenderungan perbedaan dalam fiqih biasanya hanya sebatas perbedaan kondisi atau berangkat dari qira’ah yang berbeda. Sebagaimana diketahui bahwa fiqih itu kondisional, artinya pendapat akan disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi.

Perbedaan dalam fiqih disini secara universal bisa digolongkan ke dalam dua aspek, adanya perbedaan waktu, mislakan antara dulu dengan sekarang. Ke dua, adanya pendekatan yang berbeda. Dua faktor inilah yang menjadi perbedaan pandangan hingga menghasilakn pemahaman yang berbeda. Dan sebagai suatu konsekuensi, akibat adanya dua hal trsebut, penafsiran terhadap Al-Qur’an banyak memiliki keragaman.

  1. E.     Contoh Penafsiran dengan Corak Fiqih

Salah satu tafsir yang dikembangkan dengan corak fiqih adalah tafsir Imam Syafi’I yang ditahqiq oleh Syaikh Ahmad bin Musthafa al-Farran. Kitab tersebut terdiri dari tiga jilid. Secara metodologis, tafsiri imam syafi’I menggunakan pendekatan bahasa, termuat di dalamnya masalah ushul fiqih, dan metode andalannya yaitu metode qiyas terhadap kasus yang secara nash tidak ada dalam Al-Qur’an.

Contoh penafsirannya misalkan QS. Al-baqarah ayat 234[6]:

tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâ‘x‹tƒur %[`ºurø—r& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr’Î/ spyèt/ö‘r& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ( #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þ’Îû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ

234. orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[7] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

Sebagian ulama mengatakan bahwa Allah telah menentukan iddah bagi istri yang ditinggal suaminya adalah empat bulan sepuluh hari. Allah juga telah menentukan bahwa masa iddah bagi istri yang dicerai dalam keadaan hamil adalah sampai melahirkan. Apabila ada seorang istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil, maka idahnya adalah dua ketentuan idah tersebut.

Imam Syafi’I melanjutkan, “Ketika Sabi’ah Binti Haris melahirkan seorang anak beberapa hari setelah kematian suaminya, Rasulullah berkata kepadanya,

“Engkau telah halal, maka menikahlah”

`Hadits ini menunjukan bahwa idah talak dan idah wafat adalah dengan menggunakan quru dan bulan. Hal tersebut berlaku apabila perempuan tersebut tidak sedang hamil, maka hitungan idah lain tidak dipakai.”(Arrisalah, Bab al-‘adad)[8]

Contoh lain, misalnya penafsiran Al-jashahs dalam Al-Qur’an mengenai sedekah. Dalam bab sedekah ia menyebutkan ayat-ayat yang berhubungan dengan bab tersebut. Firman Alloh SWT:

tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムöNßgs9ºuqøBr& ’Îû È@‹Î6y™ «!$# §NèO Ÿw tbqãèÎ7÷Gム!$tB (#qà)xÿRr& $xYtB Iwur “]Œr&   öNçl°; öNèdãô_r& y‰YÏã öNÎgÎn/u‘ Ÿwur ì$öqyz óOÎgøŠn=tæ Ÿwur öNèd šcqçRt“óstƒ ÇËÏËÈ

262. orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.[9]

$yg•ƒr’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qè=ÏÜö7è? Nä3ÏG»s%y‰|¹ Çd`yJø9$$Î/ 3“sŒF{$#ur “É‹©9$%x. ß,ÏÿYム¼ã&s!$tB uä!$sÍ‘ Ĩ$¨Z9$# Ÿwur ß`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ̍ÅzFy$# ( ¼ã&é#sVyJsù È@sVyJx. Ab#uqøÿ|¹ Ïmø‹n=tã Ò>#tè? ¼çmt/$|¹r’sù ×@Î/#ur ¼çmŸ2uŽtIsù #V$ù#|¹ ( žw šcrâ‘ωø)tƒ 4’n?tã &äóÓx« $£JÏiB (#qç7|¡Ÿ2 3 ª!$#ur Ÿw “ωôgtƒ tPöqs)ø9$# tûï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇËÏÍÈ

264. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.[10]

 ×Aöqs% Ô$rã÷è¨B îotÏÿøótBur ׎öyz `ÏiB 7ps%y‰|¹ !$ygãèt7÷Ktƒ “]Œr& 3 ª!$#ur ;ÓÍ_xî ÒOŠÎ=ym ÇËÏÌÈ

263. Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.[11]

!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh‘ (#uqç/÷ŽzÏj9 þ’Îû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# Ÿxsù (#qç/ötƒ y‰YÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y— šcr߉ƒÌè? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9’ré’sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ

39. dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).[12]

Setelah menyebutkan seluruh ayat diatas, al-Jashash berkata: “Allah SWT memberitahukan kepada kita bahwa sedekah itu apabila tidak ikhlas maka bercampur dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), hal tersebut menjadikan sedekah itu tidak sah. Karena maksud dari batalnya sedekah adalah tidak adanya pahala sedekah seperti mereka yang tidak  bersedekah. Demikianlah setiap perbuatan apabila tidak disertai keikhlasan karena Allah SWT maka amal tersebut batal dan tidak mendapat pahala. Firman Allah SWT:

!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#r߉ç6÷èu‹Ï9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJ‹É)ãƒur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãƒur no4qx.¨“9$# 4 y7Ï9ºsŒur ß`ƒÏŠ ÏpyJÍhŠs)ø9$# ÇÎÈ

5. Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.[13]

Selama hamba beramal tanpa disertai dengan ikhlas maka amalan tersebut tidak membuahkan pahala. Bandingkan hal ini seperti yang digambarkan dalam ayat berikut:

`tB šc%x. ߉ƒÌãƒ y^öym ÍotÅzFy$# ÷ŠÌ“tR ¼çms9 ’Îû ¾ÏmÏOöym ( `tBur šc%x. ߉ƒÌãƒ y^öym $u‹÷R‘‰9$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB $tBur ¼çms9 ’Îû ÍotÅzFy$# `ÏB A=ŠÅÁ¯R ÇËÉÈ

20. barang siapa yang menghendaki Keuntungan di akhirat akan Kami tambah Keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki Keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari Keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.[14]

Maka dari itu, dalam pendapat madzhab kita tidak dibolehkan meminta upah dalam ibadah haji, shalat, mengajar alqur’an dan ibadah-ibadah lain yang disyariatkan ikhlas dalam mengerjakannya. Karena dengan mengambil upah menghilangkan tujuan utama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan:

Corak tafsir fiqih merupakan bagian dari epistimologi penafsiran yang akan mempengaruhi teks Al-Qur’an. Corak ini secara historis sudah ada pada zaman Rasulullah, namun secara metodologis berbeda. Corak ini melahirkan penafsiran dengan karakteristik ayat ahkam.

Daftar Pustaka:

Izzan, Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Tafakkur, 2011

Mustaqim, Abdul,  Dinamika Sejarah tafsir al-Qur’an, Yogyakarta: Adab Press, 2012

Al-faran , Syaikh Ahmad bin Musthafa, Tafsir Imam Syafi’I (terj. Ali Sultan dan Ferdian hasmand), Jakarta Timur: Al-mahira, 2008

Syarjaya , H.E. Syibli, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, Jakarta: Rajawali Press, 2008.

Al-Qur’an word


[1] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung, Tafakkur, 2011), hal. 199

[2] Ibid, 200

[3] Abdul Mustaqin, Dinamika Sejarah tafsir al-Qur’an, (Yogyakarta, Adab Press, 2012), hal. 117

[4] H.E. Syibli Syarjaya, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Jakarta: Rajawali Press, 2008).hal 35-40

[5] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakkur, 2011), hal. 200

[6] Al-qur’an word

[7] Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan.

[8] Syaikh Ahmad bin Musthafa al-faran, Tafsir Imam Syafi’I (terj. Ali Sultan dan Ferdian hasmand), (Jakarta Timur, Al-mahira, 2008)) hal. 425

[9] AlBaqoroh: 262

[10] QS Al-Baqarah 264

[11] Al-Baqarah 263

[12] QS Ar-Rum 39

[13] Qs Al-Bayyinah ayat 5

[14] Qs-Asyuro ayat 20

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Makhluk Allah diciptakan dengan beragam bentuk. Seperti  halnya manusia dan hewan yang tersusun dari organ tubuh yang ditegakkan oleh tulang, kemudian dilapisi dengan daging dan bertutupkan kulit. Organ tersebut akan hancur ketika kita akan mengalami kematian dan berada di alam kubur. Namun dalam firman Allah SWT dijelaskan bahwa:

ô‰s% $oY÷HÍ>tã $tB ßÈà)Zs? ÞÚö‘F{$# öNåk÷]ÏB ( $tRy‰YÏãur ë=»tGÏ. 8á‹Ïÿym ÇÍÈ

Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang dihancurkan oleh bumi dari (tubuh-tubuh) mereka, dan pada sisi Kamipun ada kitab yang memelihara (mencatat). (Q.S Al-Qaf:4)

Dari ayat suci ini, dapat ditarik benang merah bahwa setelah tubuh orang-orang yang meninggal dunia yang ada dikubur terurai menjadi komponen-komponen dasar penyusunnya, yaitu air dan debu bumi, maka tidak ada yang tersisa kecuali satu komponen penting. Dari ayat tersebut penulis akan membahas dan mencoba menjelaskan menggunakan hadits atau sumber hukum yang kedua setelah Al-Quran. Mengenai komponen apa yang tidak hancur dari bagian tubuh makhluk ciptaan Alloh yakni Manusia dan hewan akan penulis bahas pada halaman selanjutnya.

  1. Rumusan Masalah
    1. Apa teks hadis dan terjemah tentang keajaiban tulang ekor?
    2. Bagaimana takhrij dan tahqiqnya?
    3. Apa yang terkandung dalam hadis tersebut?
    4. Bagaimana kontekstualisasinya pada masa sekarang?

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Teks hadits dan Terjemah[1]

Hadits riwayat Muslim no. 5254

و حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا الْمُغِيرَةُ يَعْنِي الْحِزَامِيَّ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ ابْنِ آدَمَ يَأْكُلُهُ التُّرَابُ إِلَّا عَجْبَ الذَّنَبِ مِنْهُ خُلِقَ وَفِيهِ يُرَكَّبُ

“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Al Mughirah Al Hizami dari Abu Az Zinad dari Al A’raj dari Abu Hurairah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Setiap anak cucu Adam dimakan tanah kecuali tulang ekor. Dari situlah ia diciptakan dari Disitulah ia disusun (kembali).”

  1. Takhrij Hadits dan Tahqiq Hadi
  2. ts

Hadis diatas terdapat juga di kitab-kitab yang lain seperti halnya di bawah ini[2] :

الرقم

الباب

الكتاب

الرقم

4440

تفسير القران

البخاري

1

4554

تفسير القران

البخاري

2

2050

الجنائز

النسئ

3

4118

السنة

ابو داوود

4

4356

الزهد

بن مجه

5

7833

بقي مسند المكثرين

احمد

6

7934

بقي مسند المكثرين

احمد

7

9163

بقي مسند المكثرين

احمد

8

10072

بقي مسند المكثرين

احمد

9

503

الجنائز

ملك

10

Riwayat Rawi

Pendapat Ulama’

  • Nama Lengkap : Qutaibah bin Sa’id bin Jamil bin Tharif bin ‘Abdullah
  • Kalangan : Tabi’ul Atba’ kalangan tua
  • Kuniyah : Abu Raja’
  • Negeri semasa hidup : Himsh
  • Wafat : 240 H

ULAMA

KOMENTAR

Abu Hatim Tsiqah
An Nasa’i Tsiqah
Yahya bin Ma’in Tsiqah
Ibnu Hajar al ‘Asqalani Tsiqah Tsabat
  • Nama Lengkap : Al Mughirah bin ‘Abdur Rahman bin ‘Abdullah bin Khalid bin Khizam
  • Kalangan : Tabi’ut Tabi’in kalangan tua
  • Kuniyah :
  • Negeri semasa hidup : Madinah
  • Wafat :

ULAMA

KOMENTAR

Ahmad bin Hambal laisa bihi ba`s
Yahya bin Ma’in laisa bi syai’
Abu Daud dlaif
An Nasa’i laisa bi qowi
Ibnu Hibban disebutkan dalam ‘Ats Tsiqat’
Ibnu Hajar tsiqah meriwayatkan hadits gharib
Adz Dzahabi Tsiqah
  • Nama Lengkap : Abdullah bin Dzakwan Abu Az Zanad
  • Kalangan : Tabi’in kalangan biasa
  • Kuniyah : Abu ‘Abdur Rahman
  • Negeri semasa hidup : Madinah
  • Wafat : 130 H

ULAMA

KOMENTAR

Ahmad bin Hambal Tsiqah
Abu Zur’ah Tsiqah
Yahya bin Ma’in Tsiqah
Al ‘Ajli Tsiqah
Abu Hatim “tsiqah,faqih”
As Saji Tsiqah
An Nasa’i Tsiqah
Al ‘Ajli Tsiqah
Ath Thabrani Tsiqah
Ibnu Hibban disebutkan dalam ‘ats tsiqaat
Ibnu Hajar Al Atsqalani “tsiqah,faqih”
Adz Dzahabi tsiqah tsabat
  • Nama Lengkap : Abdur Rahman bin Hurmuz
  • Kalangan : Tabi’in kalangan pertengahan
  • Kuniyah : Abu Daud
  • Negeri semasa hidup : Madinah
  • Wafat : 117 H

ULAMA

KOMENTAR

Ibnu Sa’d Tsiqah
Ibnul Madini Tsiqah
Al ‘Ajli Tsiqah
Abu Zur’ah Tsiqah
Ibnu Kharasy Tsiqah
Ibnu Hibban disebutkan dalam ‘ats tsiqaat
Ibnu Hajar al ‘Asqalani tsiqah tsabat
  • Nama Lengkap : Abdur Rahman bin Shakhr
  • Kalangan : Shahabat
  • Kuniyah : Abu Hurairah
  • Negeri semasa hidup : Madinah
  • Wafat : 57 H

ULAMA

KOMENTAR

Ibnu Hajar al ‘Asqalani Shahabat

Berdasarkan hal-hal yang ditulis diatas maka hadits ini memenuhi syarat Shahih, sehingga bisa dijadikan hujjah.[3]

  1. Mufradad

عَجْبَ الذَّنَبِ: tulang ekor

  1. Asbab al-Wurud

Penulis belum menemukan Asbab al-Wurud hadits ini.

  1. Syarah Hadits

Hadits ini menjelaskan bahwa tulang ekor merupakan unsur terpenting, dari tulang ekor itulah janin diciptakan dan dibentuk pada tahap pertama. Selain itu keajaiban tulang ekor adalah tidak akan hancur. Selanjutnya dari tulang ekor itulah manusia dihidupkan dan dibentuk pada hati kiamat kelak. Berikut bisa dilihat di bawah mengenai gambar tulang ekor:

  1. Kontekstualisasi[4]

Ilmuwan muslim pada paruh kedua abad ke-20 telah mendasarkan pemahaman mereka mengenai kemukjizatan hadits tentang tulang ekor ini pada dua kaidah pengetahuan yang paling dasar berikut.[5]

  1. Tulang ekor merupakan bagian pertama yang tumbuh dari janin, biasa disebut dengan primitive streak, yaitu bagian utama yang terbentuk pada minggu ketiga.

Dari primitive strike itulah sel-sel berkembang dari tingkatan ectoderm menjadi bentuk mesoderm. Setelah itu, primitive streak mengalami penyusutan dan tidak ada yang tersisa darinya kecuali bagian kecil, sebagaimana yang terdapat pada bagian ujung tulang belakang manusia.

  1. Kemampuan tulang ekor dalam menyusun berbagai macam struktur anatomi tubuh dapat dibuktikan ketika tumor muncul di bagian tersebut pada bayi yang baru dilahirkan teratoma.

BAB III

PENUTUP

               Kesimpulan

Dari uraian diatas, dapat ditarik ksimpulan bahwasanya, setiap organ manusia diciptakan dengan berbagai keajaiban, salah satunya adalah tulang ekor manusia, keterangan dalam hadis yang menyatakan bahwa “Seluruh (bagian tubuh)anak adam akan dimakan tanah kecuali tulang ekor.darinyalah ia diciptakan dan dengannyalah ia dirakit kembali” ternyata dapat dibuktikan secara ilmiah oleh para peneliti baik dari jerman maupun dari yang lainnya, dari hasil penelitian itu mengatakan bahwasanya tulang ekor tidak akan binasa, manusia terbentuk dari tulang ini pada fase janin. Dan bagian yang paling terpenting yang tersisa dari tubuh mayit adalah tulang ekornya yang tidak akan pernah binasa, sementara jasadnya akan terurai menjadi unsur-unsur awlnya air dan debu tanah.

Daftar Pustaka

ü  Software Maktabah Syamela

ü  Sofware lidwa

ü  Hisyam Thalbah, Ensiklopedia Mukjizat al-Qur`an dan Hadits 2 “Penciptaan Manusia” terj. Syarif Hade Masyah (Bekasi: Sapta Sentosa, 2008)

ü  Dr. Zaghlul An-Najar, Pembuktian Sains dalam Sunnah (Jakarta: Amzah, 2007)


[1] Software Maktabah Syamela

[2] Software Maktabah Syamela

[3] Sofware Lidwa hadits

[4] Lihat Hisyam Thalbah, Ensiklopedia Mukjizat al-Qur`an dan Hadits 2 “Penciptaan Manusia” terj. Syarif Hade Masyah (Bekasi: Sapta Sentosa, 2008).hlm237-238